Mohon tunggu...
Alomet Friends
Alomet Friends Mohon Tunggu... -

ALOMET & FRIENDS : Perusahaan konsultan manajemen strategis yang berbasis pada proses dan teknologi. Misi : Menjadi mitra klien dalam meningkatkan produktivitas kerja untuk mencapai tujuan perusahaan melalui pembenahan proses bisnis.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Comfort Zone

30 September 2015   15:58 Diperbarui: 30 September 2015   16:29 189
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Oleh : PM Susbandono

Menjajah bangsa lain hingga 350 tahun, bukan hal yang mudah.  Tapi Belanda pernah melakukannya.  Dan tanah jajahan itu bernama Nusantara, sekarang Indonesia.  Jarak yang membentang ribuan mil, antara negara penjajah dan yang dijajah, disekat beberapa benua dan samudera, dengan teknologi super kuno, bukan halangan untuk mempertahankan kolonialisasi di tanah Nusantara.

Aneh?  Ya, tapi nyata.  Itu yang terjadi, “penjajahan manusia atas manusia”, menjadi “penjajahan bangsa atas bangsa”. “Exploitation de long par long” menjadi “exploitation de nation par nation”, kata Bung Karno dalam salah satu pidatonya.  Namun, mengapa bisa begitu lama?

Alasan ini pernah mengemuka. Orang Indonesia berada di daerah nyaman, dan cenderung betah berada di dalamnya.  Comfort zone menina-bobokan, membuat terlena dalam kenikmatan iklim dan cuaca ramah dan bersahabat yang selalu menyelimutinya.  Tak kenal musim dingin bersalju atau angin kering yang panas dan menyengat.  Tak ada padang pasir yang terik, atau salju yang membeku, sekali pun hanya 1 hari.   Orang Indonesia mudah kenyang dengan kesuburan tanahnya.  Gampang puas dengan kekayaan alamnya.  Semuanya, membuat budaya bangsa  dekat dan erat dalam dekapan comfort zone.  Dan itu membiarkan sang penjajah merajalela mengunyah  buah dari nina-bobo comfort zone.  “Begini saja enak, mengapa harus berubah”.  Puas menjadi rasa yang sangat mudah didapat.

Area nyaman tidak hanya menyergap bangsa Indonesia secara makro, tapi mengerucut ke relung-relung kehidupan mikro.  Menusuk hingga lingkup masyarakat, komunitas, organisasi, perusahaan bahkan keluarga.  Comfort zone melahirkan kelembekan, mematikan daya juang, menutup lubang terobosan di depan mata, yang sebenarnya peluang.  Tidak perlu ada yang dikhawatirkan, karena ia lahir dari lingkungan yang memanjakan, selalu mengirim kemudahan, menghangatkan kebekuan dan menyejukkan kesumpekan. 

Singkatnya, hidup tak perlu diperjuangkan.  Ia datang dengan sendirinya, tanpa diminta, tak usah direbut.  Penjajah biar saja ada, asal tak membuat hidup lebih merana.  Padahal, hidup sebenarnya terjadi saat orang meninggalkan area itu.  Life begins at the end of your comfort zone.  Kalau masih ada di dalamnya, sejatinya “hidup” belum benar-benar terwujud.

Comfort zone adalah suasana yang membuat  kepuasan hadir dengan mudah meski dengan usaha minimal.  Orang yang berada dalam kondisi ini, hanya mengeluarkan perilaku terbatas untuk menghasilkan kinerja yang sedang-sedang saja, biasanya tak ada resiko yang terlibat di dalamnya.  “Where our uncertainty, scarcity and vulnerability are minimized – where we believe, we’ll have access to enough love, food, talent, time, admiration.  Where we feel, we have some control”. (Brene Brown)

Proteksi  menjadi salah satu biang penyebab.  Orang yang “karyanya” atau “hidupnya” atau bahkan dirinya  dilindungi, oleh siapa pun, untuk hal apa pun, di tempat mana pun, sejatinya sedang dalam cengkeraman comfort zone.  Sayang, proteksi sering tak kasat mata.  Tak mudah untuk menyadari dia berada dalam lingkupnya.  Proteksi adalah kekuatan siluman yang membuat seolah-olah kuat.  Proteksi menciptakan kenikmatan dan kedamaian semu.  Kenikmatan yang menghanyutkan.  Kedamaian “palsu”, menghalangi orang masuk dalam kondisi stress.

Padahal, sampai titik tertentu, relax  tidak melahirkan performance.  Sampai tahap tertentu, stress atau anxiety  justru memicu dan memacu kinerja.  Tanpa stress tak ada pencapaian,  no deliveries.  “Tenang-tenang” saja identik dengan tanpa kerja, walhasil, tanpa karya.  Padahal area kenyamanan menghalangi munculnya fighting spirit.  Disitulah comfort zone menjadi daerah beracun yang harus segera ditingggalkan.

Caranya tak mudah. Comfort zone terlihat tak nyata, samar-samar.  Apalagi, karena ia menghanyutkan, membuat terlena.  Bila merasa selalu nyaman, selalu sukses, tak ada halangan, selalu berjalan mulus, padahal usaha yang dikeluarkan minimal, itu comfort zone.  Segera, buat target baru,  cita-cita yang berbeda atau mimpi yang menantang.   Susun strategi dengan pendekatan yang lebih “berani”, dengan tenggat waktu yang lebih singkat, sumber daya yang lebih terbatas, dan ongkos yang lebih murah.  Comfort zone akan terusik dan anxiety akan lahir kembali.  Biasanya, kemudian, membuahkan prestasi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun