Oleh: Andries Sibarani
Senior Consultant Alomet and Friends
Negara Gagal
Belakangan ini kita terpapar dengan berita bahwa menurut Indeks Negara Gagal (Failed States Index) 2012 yang dipublikasikan oleh lembaga think-tank The Fund for Peace (FFP) di majalah Foreign Policy, Indonesia tergolong dalam kelompok negara “in danger” dan menuju kegagalan. Apa itu ‘negara gagal’ (failed states)? Beberapa indikator kegagalan antara lain adalah, pemerintah pusat yang lemah dan tidak mampu mengawasi sebagian besar wilayahnya, tidak tersedianya layanan publik, korupsi dan tingginya angka kriminalitas, tekanan demografis, protes kelompok-kelompok minoritas dan penegakan hak asasi manusia.
Laporan tersebut langsung memicu reaksi keras dan terkesan defensif dari kalangan pemerintahan. Dalam daftar tersebut, Indonesia menempati peringkat 63 dari 178 negara, sama dengan Gambia. Masih sedikit lebih baik dari Bolivia atau Bhutan, tapi tidak lebih baik dari Fiji atau Tanzania. Seperti tahun-tahun sebelumnya, Somalia dan Republik Demokratik Kongo menempati dua peringkat teratas dan masuk dalam kategori “alert”. Sedangkan Finlandia, Swedia, Denmark, Swiss, Norwegia, Luksemburg, Selandia Baru, Irlandia, Kanada, Austria, Belanda, Islandia dan Australia, merupakan negara-negara yang dikategorikan sebagai “sustainable” alias jauh dari kegagalan.
Menarik untuk dicermati bahwa 7 dari 10 negara dengan peringkat gagal tertinggi adalah negara-negara di benua Afrika. Dalam konteks terbaik, negara-negara Skandinavia menempati peringkat teratas. Dari kelompok negara-negara Asia, Singapura dan Korea Selatan masuk dalam kelompok “stable mendekati sustainable” bersama dengan Jerman, Belgia, Perancis, Slovenia, Portugal, Amerika Serikat, Inggris Raya, dan Republik Ceko.
Dari dalam negeri, pihak-pihak yang kritis terhadap pemerintahan langsung sepakat bahwa daftar ini adalah pembuktian terhadap kesalahan pengelolaan negara oleh pemerintahan saat ini. Keduabelas indikator yang digunakan oleh FFP menunjukkan bahwa Indonesia ada di kisaran 6,0-7,4 atau rata-rata 6,7 dari skala 0 (paling baik/sustainable) ke 10 (paling buruk/failed). Artinya, secara sederhana boleh saja ditafsirkan bahwa negara kita menuju kepada “negara gagal” dan yang namanya penafsiran, tentu saja bisa diperdebatkan dengan berbagai macam argumentasi.
Ada baiknya kita berkaca pada negara-negara Skandinavia. Mengapa mereka dianggap jauh dari kategori “negara gagal”? Finlandia dalam daftar FSI 2012 menempati peringkat terbaik dengan skor rata-rata 1,67 disusul Swedia dengan skor 1,78 dan Denmark 1,92. Dalam berbagai publikasi pun negara-negara Skandinavia ini dianggap sebagai komunitas yang paling sukses di dunia. Rata-rata orang Skandinavia menikmati standar hidup yang lebih baik ketimbang kebanyakan orang di Jerman, Belanda, Inggris dan Amerika Serikat.
Apa kunci kemakmuran orang-orang Skandinavia? Jawabannya mungkin pada produktivitas masyarakatnya. Saat orang-orang Rusia datang ke tempat kerja dengan sebotol vodka di tangan dan orang-orang Mediterania menikmati tidur siangnya, pekerja-pekerja di pabrik Volvo menghabiskan 60 jam kerja dalam seminggu. Etos kerja Nordik inilah yang berkontribusi pada kemakmuran Skandinavia, bukan pada tingginya pajak atau mekanisme keuangan lainnya.
Etos kerja ini boleh jadi terbentuk karena alamnya, saat mereka harus melalui hari-hari gelap dan dingin, karena musim dingin yang lebih panjang ketimbang negeri lain. Tingkat pajak yang tinggi tidak menjadi kendala karena rakyat percaya bahwa dengan kerja keras usaha mereka akan berhasil, terlepas dari latar belakang sosial.
Ada pemeo “you’ve got to earn money to burn money” dan ini berlaku bukan hanya bagi komunitas, tapi juga individu. Seseorang yang tidak dapat mengelola rumahnya dengan baik, yang tidak mengerti konsep patriotisme dan menolak untuk ambil bagian dalam membangun peradaban tidak layak untuk dianggap sebagai orang dewasa. Dengan pemahaman ini, setiap individu akan berusaha untuk menjadi yang terbaik dan secara agregat komunitas yang akan diuntungkan dengan kehadiran individu-individu super tadi.
Kebangkitan Asia
Beberapa waktu lalu dalam acara televisi yang dipandunya di Amerika Serikat (The Colbert Report), Stephen Colbert berkata, “Mexicans do the jobs we don’t want to do, and Asians do the jobs we’re not able to do.” Sindiran untuk pemerintahan Presiden Obama, sekaligus pengakuan akan kepiawaian orang-orang keturunan Asia di Amerika Serikat (Asian-American).
Pew Research Center, sebuah lembaga riset demografi di Washington, DC baru-baru ini mengeluarkan hasil studi bertajuk “The Rise of Asian Americans”. Kajian ini menyingkap fakta bahwa Asian-American adalah kelompok dengan pendapatan tertinggi, paling terdidik, dan tumbuh paling pesat di Amerika Serikat. Jumlah imigran baru Asian-American sudah menjadi kelompok terbesar mengalahkan imigran baru dari Amerika Latin (Hispanik).
Berdasarkan Sensus 2010, tercatat 430 ribu imigran baru dari Asia (36 persen) berbanding 370 ribu Hispanik (31 persen). Angka-angka ini berdampak pada perubahan komposisi demografi di Amerika Serikat. Saat ini tercatat 18,2 juta orang keturunan Asia bermukim di Amerika Serikat. Angka ini adalah 5,8 persen dari populasi dan akan terus meningkat di tahun-tahun mendatang (sebagai perbandingan, populasi Hispanik tercatat 16,7 persen dan African-American 12,3 persen).
Apa yang menyebabkan ‘aliran’ yang sedemikian besar? Associated Press menyatakan bahwa peningkatan angka imigrasi orang-orang Asia ini disebabkan semakin tingginya minat perusahaan-perusahaan Amerika pada tenaga-tenaga kerja terampil.
Data-data yang dikumpulkan oleh Pew Research Center tahun 2010 pun mendukung pernyataan tersebut. Enam puluh satu persen dari imigran Asia berusia 25-64 tahun datang dengan gelar sarjana, dan dua kali lipat ketimbang non-Asia. Dalam survei yang dilakukan, didapatkan fakta bahwa 28 persen penduduk Amerika di atas usia 25 memiliki gelar sarjana (S1, S2, S3). Untuk kelompok Asian-American, angka ini adalah 49 persen. Artinya, 1 diantara 2 orang Amerika keturunan Asia adalah sarjana. Persentase ini lebih tinggi ketimbang kelompok kulit putih (31%), kulit hitam (18%) dan Hispanik (13%).
Dari sisi pendapatan, rata-rata rumah tangga di Amerika Serikat menghasilkan USD49.800 per tahun. Bila dipilah, kelompok Asian-American memimpin dengan pendapatan USD66.000 per tahun, di atas kelompok kulit putih (USD54.000), Hispanik (USD40.000) dan kulit hitam (USD33.000). Angka ini berkorelasi dengan tingkat kemiskinan 11,9% untuk kelompok Asian-American yang di bawah rata-rata nasional 12,8%. Ketika ditanyakan apakah kerja keras sinonim dengan keberhasilan, 69 persen orang Amerika keturunan Asia menjawab “YA”, lebih tinggi dibanding rata-rata 58 persen untuk populasi Amerika Serikat.
Bagi sebagian besar Asian-American, negeri baru mereka memberikan kehidupan yang lebih baik ketimbang negeri asal. Tabel di bawah memperlihatkan persentase yang menyatakan lebih baik sesuai dengan kriteria yang ditanyakan. Survei dilakukan pada komunitas Asian-American yang berasal dari China, Filipina, India, Vietnam, Korea, dan Jepang, sebagai sub-kelompok terbesar dalam kelompok orang Amerika keturunan Asia.
Secara berkala, Parsadaan Bangso Batak (PBB) mengadakan acara-acara bersama yang tujuannya adalah mempererat tali silaturahim dan memperkenalkan tradisi-tradisi Batak yang bahkan di kota-kota besar di Indonesia sudah mulai terlupakan. Salah satunya adalah penggunaan Bahasa Batak dalam pembicaraan sehari-hari. Tidak heran bila ada anak Amerika keturunan Indonesia yang tidak dapat berbahasa Indonesia tapi mampu bercakap dalam Bahasa Batak dengan aksen yang kental, seolah lahir dan besar di Laguboti, Toba.
Implikasi
Sebagaimana diutarakan di atas, Indonesia tergolong “in danger” dan menuju “negara gagal”. Negara besar dengan segala potensi alam dan sumberdaya manusia yang melimpah ini sudah waktunya unjuk gigi dan menjadi pemimpin di kawasan Asia Tenggara. Etos kerja bangsa Skandinavia dengan semangat Viking-nya patut ditiru. Alam Indonesia memang membuat rakyatnya jadi manja dan tidak tanggap terhadap tantangan. Hal yang seharusnya menjadi keunggulan seolah menjadi kutukan.
Di sisi dunia yang lain, terjadi kebangkitan ras Asia. Indonesia sebagai bagian dari benua kuning pun sudah selayaknya memanfaatkan momentum kebangkitan ini dan ikut berpartisipasi di dalamnya. Persepsi dunia Barat yang semakin positif terhadap bangsa-bangsa Asia – dari sisi intelejensia dan etos kerja – hendaknya mampu dijadikan sebagai modal berharga bangsa Indonesia dalam pergaulan internasional.
Dari uraian di atas, ada benang merah antara kriteria “negara gagal” versi Failed States Index dengan persepsi “negara ideal” sebagaimana survei yang dilakukan Pew Research. Perlakuan terhadap orang miskin dan kelompok marjinal serta penegakan hak asasi manusia menjadi hal yang penting untuk diperhatikan agar negara kita bergerak ke arah “negara ideal” dan bukan malah menuju “negara gagal”.
Belajar dari Skandinavia dan China, kedua bangsa ini terlihat mengedepankan semangat, etos kerja dan patriotisme individu sebagai bekal dalam pembentukan komunitas yang lebih solid. Ini mungkin yang sedikit demi sedikit terkikis dari komunitas Indonesia saat ini. Salah satu nilai yang terasa semakin hilang dari bangsa kita adalah semangat gotong-royong dan kebersamaan, yang boleh jadi imbas dari kemajuan teknologi dan modernisasi yang menekankan pada pencapaian individual atau penghargaan model rekor-rekor yang memuaskan segelintir masyarakat.
Nilai-nilai kebangsaan dan patriotisme pun semakin luntur dengan perubahan nilai-nilai yang dianut. Coba tanya anak-anak Indonesia yang bersekolah di sekolah-sekolah internasional apa itu Pancasila dan apakah mereka hafal syair lagu Indonesia Raya. Sebagian besar mungkin akan menjawab (dengan Bahasa Indonesia beraksen), tidak hafal atau tidak penting. Kelihatannya sepele, tapi kita hanya akan kuat sebagai bangsa kalau memiliki rasa bangga pada negara ini.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H