Mathiyas Thaib
Beberapa rekan sejawat saya saat ini sedang di Bali. Mereka hadir dalam acara APEC dengan penuh harapan pada event pertemuan para pengambil kebijakan ekonomi internasional ini. APEC memang mesin pertumbuhan ekonomi global. Konon PDB negara-negara anggota APEC sampai 34% dari PDB global. Kontribusinya sekitar 50% dari pertumbuhan ekonomi dunia. Sehingga wajar saja jika rumusan-rumusan APEC akan berdampak pada perekonomian dunia, termasuk Indonesia
Tetapi secara pribadi, saya pesimis bahwa APEC akan membawa kemashalatan terhadap perekonomian kita. Sbagaimana layaknya forum pengambilan keputusan ekonomi internasional lainnya, sudah lumrah bahwa negara-negara maju-kaya sudah lebih siap untuk berunding dalam menciptakan aturan-aturan ataustandar-standar global. Sebaliknya, negara berkembang lebih banyak bersikap difasilitasi dan acap bersikap menerima karena tak berdaya atau tak mau repot2.
Buktinya, silakan amati sikap dan keadaan bangsa kita dalam percaturan globalisasi kini. Fenomena yang paling menonjol adalah kita berunding dalam keadaan terpuruk dalam segala macam aspek sehingga tidak memiliki rasa percaya diri.Kita juga berunding dalam keadaan miskin jiwa (bukan miskin benda karena pada dasarnya kita kaya dengan sumber daya baik manusia dan alam) sehingga kita terbelenggu dengan kemiskinan jiwa itu sendiri.Akibatnya bangsa kita sangat mudah didikte dan mengambil sikap menerima atau pasrah atau tidak mau repot-repot.
Jadi apapula guna APEC, dalam kondisi terpuruk ini. Yang ada kehadiran kita hanya melegalisasi kesepakatan-kesepakatan yang akan menyengsarakan anak bangsa kita sendiri. Lantas, kepada siapa kita harus berharap? Syukurnya, masih ada anak bangsa yang tidak terbelenggu kemiskinan jiwa. Kendati jumlah mereka marginal atau sengaja dimarginalkan sehingga akhirnya terpaksa realistis.
Jalan terbaik adalah berhimpunnya kalangan yang tidak terbelenggu dengan kemiskinan jiwa, sembari tetap menjalin komunikasi secara intensif melalui berbagai forum dan media komunikasi untuk mencari jalan keluar. Banyak hal yang dapat mereka dilakukan, seperti:
·Memupuk dan mengasah kecerdasan antar sesama untuk tidak terbelenggu dengan dogma, doktrin atau aliran utama (main stream) ekonomi kekinian yang selalu mengutamakan peningkatan kesejahteraan berbasis uang dan pasar bebas. Hal ini sebenarnya juga tidak benar. China dan India sudah mematahkan hal ini.
·Memupuk dan mengasah keberanian untuk mencari jalan keluar tanpa harus takut akan ancaman dari pihak mana pun dalam era globalisasi.
Sementara, beberapa usaha pokok yang perlu dilakukan untuk mewujudkan kecerdasan dan keberanian adalah sebagai berikut:
·Pelajari dan sebarkan pokok-pokok pikiran ekonomi yang bukan paham keuangan sebagai dasar utama. Paham itu adalah ekonomi berbasis kerja, operasi dan kreatifitas untuk peningkatan produktivitas.
·Redefinisi atau rumuskan ulang pemahaman dan makna globalisasi yang memiliki keberpihakan kepada kepentingan anak bangsa, bukan untuk memenuhi atau mentaati aturan dan regulasi untuk kepentingan anak bangsa lain.
·Pupuk keberanian di antara anak bangsa bahwa tidak mentaati aturan global yang tidak berkeadilan adalah bukan sebuah pelanggaran yang bersifat dosa.
·Kembangkan dan ciptakan hidup cara berpikir alternatif untuk menghindari tekanan dari negara-negara kuat atau pihak-pihak yang ingin mendominasi anak bangsa kita. Hal ini berarti kita harus berkeringat dan siap mengambil resiko, dan resiko adalah sebuah hal yang wajar dalam perjalanan hidup.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H