Konflik yang memicu tindak kekerasan kerap mewarnai pemberitaan di media-media, baik cetak, elektronik, mau pun media sosial. Apakah jurnalisme damai yang mengandung pesan toleransi, keberagaman, dan kebersamaan masih relevan di tengah pakem jurnalistik yang menyatakan bad news is good news?
“Seorang jurnalis seharusnya tidak hanya mampu menulis berita namun juga memiliki sense of news yang baik. Jurnalisme damai adalah sebuah keharusan untuk menjaga iklim yang baik bagi kehidupan bangsa dan Negara. Banyak isu yang ada di dunia ini, tidak semuanya membawa pesan perdamaian. Maka tugas seorang jurnalis untuk menyisipkan pesan-pesan yang membawa damai ke hati pembaca,” ungkap Monique Rijkers seorang Jurnalis TV dan Founder dari Hadassah of Indonesia dalam Kelas Jurnalis 2016 yang digelar oleh Komsos Paroki BMV Katedral Keuskupan Bogor akhir November lalu.
Wanita yang sempat menjadi Produser di Metro TV selama 6 tahun ini memberikan contoh seperti kegiatan Parade Kebhinekaan yang baru-baru ini dilaksanakan. “Seorang jurnalis yang memiliki kepekaan akan perdamaikan pasti melihat dari esensi kegiatan seperti toleransi dan keberagaman. Namun yang menganut jurnalisme kebencian mengangkat sensasi dari sisi negatif seperti ada pemodal yang membiayai, peserta yang dibayar, dan masih banyak lagi,” papar Jurnalis yang sering meliput kegiatan-kegiatan konflik di Israel dan Palestina ini.
Di akhir Monique Rijkers berpesan, “Saya ingin menutup kelas hari ini dengan berkata Jurnalisme damai bukanlah sebuah pilihan, melainkan kebutuhan!” tutupnya.
(AJ)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H