Suatu kali saya pernah bermimpi seandainya deretan kursi beton di Lapangan Tikala dan sebagian halamannya nanti bisa menjadi pusat taman baca masyarakat Kota Manado. Tentu saja, impian ini tidak bermaksud untuk melengserkan para penggiat olahraga yang sering beraktivitas di tempat itu. Namun, alangkah baiknya jika olahraga fisik diseimbangkan juga dengan olahraga pikiran secara massal yakni dengan cara membaca. Saya pikir, tempat ini sangat strategis. Pertama, lokasinya berhadapan langsung dengan perpustakaan daerah dan berada di kawasan khalayak ramai. Kedua, dekat dengan berbagai aneka ragam masakan kuliner. Ketiga, mudah mendapatkan alat transportasi.
Keempat, suasananya bersih dan pohonnya pun masih terjaga, sehingga para pengunjung merasa teduh serta nyaman untuk mengekspresikan gagasan. Ketika saya menyempatkan diri untuk menghirup udara sore disana, ada satu orang lelaki muda yang duduk membaca di bawah pohon. Setelah berbincang cukup lama, ia juga sepakat bahwa pinggiran lapangan Tikala sebaiknya dijadikan pusat taman baca. Supaya kultur keilmuan dan kebersamaan tetap terjalin secara harmonis. Berangkat dari pernyataan ini, menandakan sebagian masyarakat lokal sudah memiliki kesadaran akan pentingnya aktivitas membaca. Bukunya apa saja yang penting memiliki nilai edukatif dan transformatif.
Sepanjang pengamatan saya, ternyata kultur baca masyarakat lokal memang masih sangat minim (terutama warga kampus), tempat-tempat membaca yang disediakan pemerintah pun hampir bernasib sama. Kalau hanya mengandalkan perpustakaan daerah, saya rasa itu tidak cukup. Sebab, disamping waktunya terbatas diikuti pula dengan tampilan ruangan yang seolah ingin memenjarakan imajinasi pembaca. Selama ini, Kota Manado sangat jauh dari kesan sebagai Kota Pendidikan melainkan Kota Perekonomian dan ‘gaya-gayaan’.
Dalam tulisan ini, saya tidak mengharamkan orang untuk menikmati hasil pembangunan dan berpenampilan bagus. Hanya saja, semuanya itu tak ada arti jika generasi-generasi lokal kehilangan kemauan untuk membaca (teks-konteks) dan pada akhirnya ketidakmauan tersebut berimbas kepada kebingungan untuk menulis pikiran-pikiran besar yang sebetulnya dapat membawa nilai pencerahan. Virus ini sangat berbahaya apabila terus dibiarkan, ia bisa menggerogoti hingga ke level akar rumput. Akhirnya, karena malas membaca masyarakat lokal menjadi kaku berbicara dan kebanyakan menjadi penonton setia ditengah persoalan-persoalan politik yang membutuhkan ketajaman analisa. Membangun kultur baca memang bukanlah semata tugas pemerintah melainkan bermula dari keluarga di rumah. Mari kita mulai dari sekarang sebelum timbul penyesalan.
Basri Amin menganalisis bahwa tradisi bacaan dan pembacaan kita terhadap zaman yang tengah berubah cepat sepertinya belum banyak berubah. Kita sangat butuh terobosan besar dan pioner yang berani memihak kepada dunia pustaka bagi pencerdasan bangsa. Padahal tersedianya bacaan yang bermutu adalah pemicu utama sebuah negeri agar bisa bekerja lebih baik. Karena selalu ada semangat belajar dan sarana untuk maju tanpa henti.
Dengan rakyat yang optimis dan tercerahkan etos hidupnya, dengan pemerintah yang bervisi cerdas dan amanah, serta generasi baru yang unggul, maka negeri kita bisa menapaki jalan-jalan masa depannya dengan mayakinkan. Tentu bacaan bukanlah segalanya. Tapi cukup jelas bahwa budaya baca yang lemah adalah awal dari rendahnya budaya tulis dan budaya berpikir yang baik. Padahal UU Perpustakaan No. 43 Tahun 2007 sangat jelas memberi amanah tentang kewajiban pemerintah di bidang perpustakaan sebagai wahana belajar sepanjang hayat dan wahana pelestarian kekayaan budaya bangsa.
Salah satu tujuan penting dalam membaca adalah mengobarkan gagasan dan upaya kreatif. Peristiwa membaca yang terbaik pada hakikatnya adalah siklus hidup mengalirnya ide pengarang ke dalam diri kita dan pada gilirannya ide kita mengalir balik ke seluruh penjuru dunia dalam bentuk benda yang kita hasilkan, pekerjaan yang kita lakukan, dan orang-orang yang terkait dengan kita. Satu point penting yang bisa saya petik dari pernyataan di atas ialah sebagai makhluk individual yang berinteraksi secara sosial maka sebuah keharusan bagi kita untuk memiliki sumber data sekaligus berbagai wawasan guna menghasilkan sebuah interpretasi yang tepat. Zaman globalisasi tidak pernah menunggu kita agar menjadi pintar, ia mengalir cepat meninggalkan orang-orang bodoh serta malas membaca. Kita tidak perlu menghabiskan berpuluh bahkan beratus-ratus halaman dalam sehari, cukup satu sampai sepuluh halaman namun kita menguasai esensi bacaan kemudian diaktualisasikan lewat tindakan nyata yang aplikatif. Membaca setidaknya mengajarkan kita untuk mampu memahami subjek, predikat, objek serta keterangan secara kritis. Keempat pemahaman itu lalu ‘membidani’ lahirnya jiwa kebijakan yang membawa ke jalan kebajikan. Sehingga, kita dapat menatap yang menata, yang suka blusukan setiap hari meskipun nyaris tanpa publikasi.
Membaca akhirnya merupakan tugas menafsir, kata Gadamer. Sang penafsir harus mampu menangkap makna awal atau asli dari teks tertulis si pengarang. Dan untuk itu, penafsir harus mencermati tiga tempat beradanya makna yaitu makna yang dihurufkan oleh pengarang dari peristiwa kehidupan atau pengalaman hidupnya yang diwujudi dalam aksara. Selanjutnya, ia harus membandingkan dengan teks-teks di sekitar tema yang serupa yang biasanya disebut penafsir antar teks.
Terakhir, kesediaan penafsir dengan kesadaran sikapnya untuk mau rendah hati dan membuka cakrawala mata bacanya pada cakrawala makna teks sehingga saling menemukan makna baru dalam peleburan cakrawala. Dari sekian banyak persoalan lokal yang muncul ke permukaan, menurut saya kita memerlukan dua metode dalam membaca. Pertama, membaca dari dalam. Artinya kita menganalisis dengan tajam tema bacaan, tokoh dalam bacaan, latar belakang penulisan dan alur dari bacaan tersebut. Kedua, membaca dari luar. Artinya, kita bisa menafsirkan teks dengan menggunakan alat bantu disiplin ilmu yang lain.
Sejujurnya, saya masih memiliki jiwa optimisme yang kuat terhadap kultur baca masyarakat lokal. Mungkin mereka enggan membentuk kelompok-kelompok baca secara massal karena kurangnya motivasi dari keluarga dan tidak ada lokasi yang disediakan pemerintah. Maklum, jatah untuk gedung dan pertokoan masih menempati posisi dibangku terdepan di Kota ini. Parahnya, ada toko buku disalah satu pusat perbelanjaan telah berubah fungsi menjadi tempat penjualan baju dan sepatu mewah.
Ah, sangat menyedihkan. Saya hanya geleng-geleng kepala melihat perubahan itu. Pertanyaannya, mampukah kita membangun kembali kultur baca masyarakat lokal? Mampukah para politisi yang akan terpilih membangun pusat taman baca sebagaimana mimpi saya sebelumnya? Entahlah ! Saya kira sebuah impian tidak akan terealisasi jika disampingnya terdapat ribuan tanda tanya. Ya, semoga ada generasi yang akan mewujudkannya karena sadar bahwa Bangsa Eropa bisa dapat mencapai masa renaissance bukan karena meganya dinding rumah atau berlimpahnya harta. Namun karena kultur baca, tulis, dan arsip yang mentradisi dalam keyakinan juga cara pandang.