Kotamobagu, Senin 14 Juli 2008
“Sayang, kamu kan sudah lulus SMA, kepikiran nggak mau lanjut di mana?” Tanya Mama mengawali perbincangan di teras rumah dengan secangkir teh hangat.
“Noura ingin melanjutkan studi di Universitas Negeri Gorontalo Ma. Insya Allah besok pagi Noura udah mau berangkat ke sana untuk tahap persiapan awal sekaligus ikut tes ujian masuknya, yaa kurang lebih selama tiga hari lah. Menurut Mama bagaimana?
“Hmm selama kamu bisa jaga diri dan taat beribadah, Mama dan Papa setuju-setuju saja, tidak ada masalah. Memangnya kamu mau ambil Fakultas apa nanti di sana?
“Noura sih ingin ambil Fakultas MIPA Jurusan Biologi Ma. Habis waktu di SMA Noura suka banget belajar tentang beragam jenis makhluk hidup, tumbuhan, hewan, bahkan Noura sudah merasa sangat dekat dengan mereka. Kayak keluarga sendiri. Hehehe”. Jawabku sembari menggenggam tangan Mama yang sudah tak halus lagi seperti dulu.
“Yaa udah kalau gitu, nanti Mama doain agar anak Mama yang cantik ini bisa lulus dan di terima sebagai Mahasiswi di kampus idaman. Amin.”
“Amin yaa Rabb. Terima kasih yaa Ma atas doanya. Karena setahu Noura doanya seorang ibu itu cepat diijabah oleh Allah.” Ucapku seraya bangkit dari tempat duduk dan mencium mesra pipi Mama yang sudah mulai sedikit basah.
Tak terasa malam semakin larut, segera ku rangkul tangan Mama untuk masuk kedalam rumah karena suhu udaranya begitu dingin menusuk qalbu. Tiba di depan pintu kamar, aku dan Mama berpisah sebagaimana biasanya, aku ke kamarku dan Mama ke kamarnya yang ukurannya tidak sebesar ukuran ruang kamarku. Namun, sebelum berpisah aku mencium untuk kedua kalinya pipi Mama dengan penuh cinta dan kasih sayang.
***
“Engkau Dinda yang ku puja teruslah bermimpi indah hingga hariku menjemput impian. Engkau Dinda yang ku sayang teruslah berharap bawa aku bintang hati yang terindah.” Ringtone alarm handphoneku berbunyi.
Oh tepat pukul 04.30 Wita. Pertanda Subuh akan segera tiba. Dalam keadaan menguap, aku bergegas masuk ke kamar mandi kemudian menyiapkan mukena untuk persiapan sholat Subuh. Berselang beberapa menit kemudian…
Allahhuakbar Allahhuakbar 2x
Asyhaduallah illa haillalah 2x
Asyhaduanna Muhammad darrasulullah 2x
Hayya alal sholah 2x
Hayya alal fallah 2x
As sholah tu khairum minannaum 2x
Allahhuakbar Allahhuakbar lailla ha illallah.
Demikian merdunya suara adzan yang sudah begitu akrab di telingaku, hingga timbul keinginan dalam hatiku untuk sekali-sekali menjadi petugas muadzin di masjid itu, karena ku pikir kan suara ku bagus, bahkan sering menjadi juara dalam kontes bintang vokalia malah, dengan begitu mungkin akan banyak jamaah yang akan datang ke masjid yang saat ini sudah mulai sepi pengunjungnya, entah mereka sibuk atau sudah tidak rindu lagi dengan Tuhannya. Hehehe, tapi ku sadar betul bahwa aku adalah seorang wanita yang dalam aturan agama tidak di wajibkan untuk mengumandangkan adzan. Sebab, kata guru ngajiku wanita itu lebih banyak resikonya kalau keluar rumah sendirian apalagi di waktu malam, dan tambahnya lagi kalau suara wanita itu adalah aurat, jadi mesti di batasi dalam kadar-kadar tertentu agar tidak menimbulkan hal-hal yang merugikan wanita itu sendiri, pelecehan seksual misalnya. Aku berhenti sejenak dari asyiknya petualangan melewati jalan pikiranku sendiri, lalu memakai mukena dan melaksanakan ibadah sholat Subuh tanpa seorang imam yang akan ku cium tangannya sehabis berdoa, seorang imam yang dapat menghangatkanku dari dinginnya kebodohan, dan mendinginkanku dari panasnya rasa keingintahuan, serta seorang imam yang bisa menenangkanku dari sakitnya kegalauan.
***
Pukul 08.00 pagi, fisik dan bathinku mulai bersiap-siap untuk berangkat ke Kota Gorontalo demi mengikuti tahapan persiapan awal serta tes ujian. Semua perlengkapan sudah ku persiapkan secara lengkap selesai sholat Subuh tadi, akhirnya aku pamitan dan mencium tangan Papa dan Mama dengan ucapan salam perjuangan. Mereka pun melepaskan kepergianku seorang diri dengan senyum hangat terselip doa agar aku selalu mendapatkan hasil yang terbaik.
“Ka’ Noura, Ka’ Noura semangat yaa, kalau bisa di jawab semua soalnya. Awas kalau ada yang salah.” Teriak adikku satu-satunya yang melongok dari arah daun pintu.
“Hehehe Insya Allah ya De’. Nanti Kakak usahain. Tapi kalau ada salahnya sedikit nggak apa-apa yah, kan tidak ada manusia yang mengetahui segalanya. Namun yakinlah setiap manusia pasti mengetahui sesuatu.” Jawabku sambil mengacak-acak rambutnya yang sudah tersisir rapi.
“ Iya deh Kakakku yang paling pinter. Hmm hati-hati di jalan yaa Ka’. Kalau ada apa-apa telfon ade. Ade’ kan baru di beliin Papa handphone baru. Hehehe.” Balasnya.
“Hahaha bisa saja kamu De’. Ok ship pahlawan kecilku, nanti Kakak akan telfon ade.”
***
Di tengah perjalanan menuju tempat tes, aku kembali terbayang oleh wajah Mama, Papa dan Faiz adikku, dan oh ternyata aku mulai merindukan mereka, tapi aku berhasil menjinakkan perasaan rindu ini yang mulai berkeliaran di dalam kandang hati, agar bisa fokus untuk mengisi ujian tes nanti. Bus yang ku tumpangi pun sampai tepat pukul 17.00 Wita di terminal Kota Gorontalo. Sesampai disana, aku langsung mencari tempat untuk menginap kurang lebih selama 3 hari. Dan syukur Alhamdulillah, tak sengaja aku bertemu dengan seorang bapak yang baru ku kenal di warung makanan. Ia begitu ramah bahkan sopan santunnya sudah sangat berlebihan kepadaku, seolah-olah dia menganggapku seperti anaknya sendiri. Setelah mendengar penuturan panjang lebar dariku, dia pun mengizinkan aku untuk tinggal gratis di rumahnya bersama seorang istri dan kedua anaknya. Karena aku orangnya positive thinking, tanpa berlama-lama aku pun menyetujui penawarannya. Tiba malam terakhir di rumah itu, aku merasakan suasana yang agak sedikit berbeda di bandingkan dengan malam- malam sebelumnya. Yaa, rumahnya terlihat sepi tanpa penghuni. “ Ah mungkin ibu, bapak dan kedua anaknya sedang keluar sebentar untuk menikmati udara malam di alun-alun Kota.” Gumamku dalam hati. Momen pada malam itu pun aku manfaatkan sebaik-sebaiknya untuk belajar ekstra. Karena, ke esokan harinya aku akan menghadapi tes ujian agar bisa masuk di Universitas yang selama ini aku idam-idamkan. Tepat jam 12 tengah malam, terdengar bunyi ketukan halus di pintu kamarku. Aku pun segera membukanya.
“Boleh bapak masuk Noura? Tanyanya santun kepadaku
“Oh yaa silahkan Pak, ni kan juga rumahnya Bapak. Hehehe.” Jawabku
Kini, hanya ada aku dan bapak di dalam kamarku. Aku pun tak pernah menaruh curiga kepadanya. Sebab, semenjak awal ia begitu baik kepadaku bahkan aku sudah menganggapnya seperti orangtuaku sendiri. Tapi alangkah kagetnya aku, tanpa basa basi dia pun mulai mengambil jarak yang begitu dekat dengan tubuhku, memegang erat kedua pundakku, dan menatap mesra kedua bola mataku sambil berkata, “kau sungguh cantik Noura’, kau begitu seksi sekali, sejak kau disini, hampir setiap malam bapak selalu berfantasi seorang diri dalam nikmatnya surga onani, oh’ sungguh bapak sudah tak tahan lagi untuk melampiaskan nafsu birahi ini kepadamu, mari kita nikmati dosa terindah ini Noura.” Ujarnya kepadaku tanpa rasa berdosa. Dadaku berdegup kencang, emosiku meledak ketika mendengar apa yang baru saja ia katakan, lima jariku pun refleks menampar keras wajahnya yang sudah lancang berkata seperti itu kepadaku. Ia pun semakin menjadi jadi, di baringkannya tubuhku di atas ranjang dengan sekuat tenaga seraya membuka kancing kameja cokelat yang di pakainya. Aku pun berteriak histeris dan memberontak pada malam itu, hingga tak sengaja ku menendang buah zakarnya yang sudah mulai menegang. Ia pun jatuh tersungkur di bawah lantai dan merintih kesakitan. Ku coba bangkit dan berlari. Tapi, apa daya ketika hendak melangkah ia kembali mendekap tubuhku dan membaringkan untuk kedua kalinya di atas ranjang yang sudah berhamburan tak karuan. Mau tidak mau, aku harus kembali bertarung melawan ambisi birahinya dengan rasa takut yang sangat mendalam. Setelah melakukan perlawanan sengit yang cukup lama, akhirnya aku pun tunduk dan pasrah di hadapannya. Melihat kondisiku seperti itu, dengan cekatan ia mulai melepaskan satu per satu pakaian tidur merah maron yang aku kenakan, hingga aku hampir saja dalam keadaan telanjang. Aku hanya terdiam lemas berderai air mata karena mulutku di tutupnya dengan kain tebal sehingga aku tak dapat berkata-kata ketika ia mengusik payudaraku. Tapi ternyata, Allah tidak tinggal diam ketika melihat diriku teraniaya oleh nafsu dunia. Sebab, sebelum ia berhasil melepas pakaian tidur dan menikmati tabir kesucianku, tiba-tiba ada sosok pemuda tampan yang datang memukul kepala lelaki itu hingga mengeluarkan darah, ia pun jatuh dan tak sadarkan diri. Dengan cepat aku menoleh ke arah pemuda itu, namun ia menghilang pergi entah kemana.
Saking geramnya, aku melompat dari ranjang hina itu, membereskan barang, kemudian pergi meninggalkan rumah yang berbau api neraka Hawiyyah. Seraya meneteskan air mata ketakutan, aku menyusuri gelapnya lorong jalan dan masih tak percaya dengan apa yang baru saja aku alami di malam itu. Ya, lelaki yang awalnya begitu ramah ternyata hanyalah palsu belaka, lelaki yang awalnya begitu sopan ternyata hanyalah bualan syetan dan satu lagi, awalnya aku menyangka Negeri Serambi Madinah (Gorontalo) itu adalah tempat insan-insan beriman tapi ternyata hanyalah tempat bapak-bapak bajingan seperti dia. Setengah jam setelah perjalanan, aku mendapati sebuah musholah kecil dekat pertokoan. Aku pun memutuskan mampir sebentar untuk menenangkan kacaunya hati dan pikiran. “Yaa Allah, meskipun sakit batin ini, aku ingin mengucapkan rasa syukur karena Engkau telah menyelamatkan diri hamba dari hinanya nafsu dunia. Aku tak akan pernah bisa membayangkan jikalau pada saat itu Engkau tidak mengutus penolong-Mu untukku, mungkin aku sudah kehilangan kesucian dan keperawanan yang hanya ingin ku persembahkan kepada laki-laki yang kelak akan menjadi suami yang halal bagiku. Yaa Allah jadikanlah ini pengalaman pertama dan terakhir untukku, jadikanlah ini sebuah pembelajaran untuk menuju proses pendewasaan. Aku percaya Kau sayang padaku, sebab aku pun sangat menyayangi-Mu.” Pintaku lirih.
Tiba-tiba kumandang adzan subuh menghentikan laju doaku. Segera ku basuh wajah dan bagian-bagian tubuhku dengan air wudhu hingga jiwa ini benar-benar terasa tenang pada saat itu. Pukul 07.00 pagi, aku berangkat meninggalkan musholah dengan penuh optimisme dan keteguhan untuk bisa mengerjakan soal-soal ujian. Meski aku baru saja lolos dari korban pemerkosaan. “Ah, aku harus bisa melupakan kejadian semalam di rumah itu, toh sekarang aku masih baik-baik saja. Masih banyak lagi hal-hal penting yang harus aku pikirkan, dan aku kerjakan untuk meraih sebuah masa depan.” Begitulah upayaku meyakinkan hati yang telah tersakiti.