Kita menemukan beragam bentuk dan ekspresi dari seluruh masyarakat yang merayakan kemerdekaan ini, dari mulai orang-orang yang berpakaian rapi dan berdasi, mungkin gambaran dari para aparat sipil negara, pegawai swasta, atau bahkan para taipan? Entahlah koridor itu sedikit licin untun saya. kita lihat sisi lain, mendapati wajah-wajah lainnya yang mungkin sedikit urakan atau bahkan cenderung nyeleneh, banyak kita temukan kehidupan disana.Â
ada para banci yang ikut meneriakan nasionalisme nya, pemuda-pemudi dengan kostum sunatan atau nikahan massalnya, para cosplay honorer dengan muka pucatnya, tampil sebagi budak korporat yang saling sikut menyikut untuk memperjuangkan namanya terpampang diatas papan kosong berjudul employe of the month dengan standar gaji yang tak seberapa, ada yang berkostum petani-petani yang memangku hasil panen nya untuk dijual ke para tengkulak haus darah, atau kostum orang pinggiran dan manusia stress yang terlilit pinjol serta kecanduan judi slot, hingga para kostum penghuni alam ghaib yang bergentayangan meronta ingin hidup kembali untuk sekedar memperbaiki hidupnya, ironis.Â
Itulah wujud kehidupan dari beberapa dekade ini, dan sekarang kita tengah hidup di masa ketakutan, dikelilingi lingkaran setan yang menyebarkan sakit. Konsepsi keadilan yang berorientasikan untuk kemajuan dan kesejahteraan khalayak banyak nyatanya masih jauh panggang dari api.
Kita terlalu berlarut larut dalam perayaan tapi kurang perenungan. Kita lebih tertarik tumpah kejalan menyatu dengan panasnya jalanan untuk memparadekan ketertindasan kita, sedangkan para elit yang diatas duduk dikursi singgasananya menikmati fasilitas yang dihasilkan dari pajak yang mencekik rakyat. Setelah perayaan perayaan kosong itu, lantas kita kembali pada segala aktivitas yang memuakkan, terlilit kebutuhan dan keperluan yang kian hari harganya tak masuk diakal, pendidikan yang masihlah mahal dan jauh dari kondisi ideal, kesehatan yang belum merata serta akses dan biaya yang tinggi, kebutuhan dapur yang selalu jadi permasalahan, hingga kita yang kian hari dihantui oleh isu-isu lingkungan; masalah sampah, kebakaran hutan, deforestasi, serta pemanasan global yang mengakibatkan kualitas udara di salah satu kota menduduki peringkat lima sebagai kota dengan kualitas udara terkotor di Dunia.
Tidak bisakah perayaan kosong kita hilangkan sejenak dan kita ganti dengan sebuah gerakan revolusioner? Kita harus segera banyak merenung dan berkontemplasi, mengumpulkan seluruh potensi yang dimiliki oleh setiap masyarakat; para akademisi, mahasiswa, pengusaha, hingga masyarakat atau kaum intelektual lainnya untuk duduk dalam lingkaran yang sama lantas memulai dialog dan genderang perubahan. Menjadikan momen di hari perayaan kemerdekaan ini sebagai pintu awal untuk keluar dari belenggu yang selama ini menjajah masyarakat.
Dan perubahan itu bisa kita mulai dari lingkungan terkecil setingkat desa, disaat semua orang berkumpul dan turun dalam pesta parade perayaan kemerdekaan, niscaya bukan suatu barang sulit pula untuk mengumpulkan masyarakat untuk duduk bersama membicarakan perubahan dan perbaikan, yang sejatinya muaranya adalah untuk kehidupan bersama itu sendiri. Bukankah saat ini gerakan semacam ini yang lebih kita butuhkan, bisa duduk berdialog mendiskusi permasalah konkret yang dimiliki setiap daerah ketimbang berhamburan ke jalan mengisi perayaan hampa?
Hentikan sejenak dekorasi-dekorasi dijalanan dan fasilitas-fasilitas publik, hentikan sejenak perayaan-perayaan kosong itu dan bila perlu kita kibarkan bendera setengah tiang sebagai bentuk kesadaran masyakarat bahwa masih banyak masyarakat yang belum sepenuhnya merdeka, masih banyak masalah-masalah yang belum pernah terselesaikan dan sampai saat ini para pemangku kebijakan yang duduk dilingkaran pemerintahan belum memberikan jawaban konkret untuk melakukan perubahan dan perbaikan di kehidupan masyarakat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H