Mohon tunggu...
Imam Naufi Almudzofar
Imam Naufi Almudzofar Mohon Tunggu... -

Sedang menempuh pendidikan S-1 UNY Jurusan Pendidikan Kewarganegaraan dan Hukum

Selanjutnya

Tutup

Politik

Memilih Wakil Rakyat yang Tepat

13 Februari 2014   14:36 Diperbarui: 24 Juni 2015   01:52 294
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Oleh : Imam Naufi Almudzofar

Di negara demokrasi seperti Indonesia, lembaga legislatif (DPR, DPD, DPRD) sangatlah memegang peran yang penting. Merekalah orang-orang yang membuat kebijakan. Artinya, lembaga legislatif menjadi penghubung antara rakyat dengan pemerintah. Sehingga nasib rakyatpun ada di tangan mereka.

Namun, lihatlah yang terjadi di Indonesia. Orang-orang yang disebut sebagai wakil rakyat seolah lupa akan tugasnya. Masih dijumpai produk legislatif yang tidak pro rakyat. Dapat dilihat juga di media saat berlangsungnya sidang paripurna. Banyak kursi yang lowong, karena banyak anggota DPR yang bolos. Yang hadirpun ada yang terlelap di kursi nyamannya. Di tingkat daerah, sami mawon. Saat rapat membahas RAPBD Sleman misalnya. Sidang sepenting itu hanya dihadiri oleh 30 anggota dewan yang sebagian juga bolos sebelum ditutup (Harian Jogja, 10 September 2013). Bahkan Majelis Hakim Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jogja pada 2 Mei lalu menjatuhi hukuman penjara 1 hingga 1,5 tahun kepada 32 mantan Anggota DPRD Gunungkidul periode 1999-2004. 32 mantan anggota Dewan tersebut terbukti melakukan tindak pidana korupsi APBD selama 1999-2004 dan merugikan negara sebesar Rp3,05 Miliar (Harian Jogja, 2 Mei 2013).

Memang, masih sangat banyak anggota dewan yang bekerja sesuai amanah, memperjuangkan hak rakyat dalam kebijakan yang dibuat serta bebas dari korupsi. Namun, oknum wakil rakyat yang tersandung “kasus kotor” lebih santer terdengar dibanding mereka yang berprestasi. Sehingga wajar jika rakyat saat ini memiliki persepsi bahwa lembaga legislatif diisi oleh “tikus berdasi”. Tapi, tidak bisa murni oknum wakil rakyat tersebut yang disalahkan. Keberadaan mereka tak lepas dari suara yang diberikan oleh mayoritas penduduk Indonesia. Jadi, rakyatpun mempunyai andil di balik semrawutnya tingkah oknum anggota lembaga legislatif.

Tentunya rakyat tidak ingin dikecewakan berulang-ulang. Dari survey yang dilakukan Harian Jogja dengan 200 responden, 73% diantaranya tidak mengenal caleg. Logikanya, bagaimana bisa memilih wakil yang tepat jika tidak tahu profil dan latar belakang orang tersebut? KPU mungkin sudah berusaha meminimalisir hal ini dengan mengunggah situs resminya berkaitan profil caleg . Namun, perlu diingat tidak semua orang di Indonesia bisa trampil dalam teknologi informasi.

Hemat penulis cara ini belum maksimal dalam memberikan gambaran mengenai calon-calon wakil rakyat. Memberdayakan media massa (TV, radio, koran) bisa lebih efektif. Dengan media massa ini pula dapat dipublikasikan mana saja oknum anggota dewan yang sering mangkir dalam menjalankan tugas. Mengadakan sosialisasi di tingkat kelurahan juga bisa menjadi alternatif dalam menanggapi masalah ini. Dengan begitu, semua rakyat harapannya dapat bersama-sama mendalami kriteria calon wakil rakyat sehingga tidak salah pilih.

Survey tersebut juga memberi fakta bahwa 75 responden akan menerima uang dari caleg. Inilah penyakit dari demokrasi saat ini. Ini membuktikan bahwa rakyat masih berpikir jangka pendek. Seolah kasus yang terjadi tidak memberikan pelajaran bahwasannya wakil rakyat yang bermain money politic saat terpilih tentu ada indikasi untuk membalikkan modal yang dikeluarkan. Inilah yang menjadi tantangan kita bersama jika ingin benar-benar memajukan negeri ini. Diantara cara yang dapat di lakukan adalah dengan memberikan pemahaman politik kepada setiap warga negara Indonesia. Maka setiap lapisan masyarakat diharapkan dapat berpartisipasi untuk bersama-sama menjadi pemilih yang cerdas. Golongan yang faham masalah ini seperti mahasiswa, kelas menengah, organisasi masyarakat dituntut untuk bisa mengajak masyarakat yang belum faham. Bisa dilakukan dengan sarasehan, sosialisasi atau dengan hal menarik lainnya. Harapannya saat pemilu nanti, masyarakat memberikan suaranya kepada calon dengan melihat kualitas dan moral baiknya bukan melihat berapa uang yang diberikan.

PEMILU legislatif tinggal hitungan bulan. Demokrasi adalah pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. Jadi pemerintahan periode selanjutnya juga kita –warga negara Indonesia- yang menentukan. Apakah mengamanahkan wakil bermental koruptor atau memberikan suara kita pada orang yang tepat. Perlu dipahami bahwa pemimpin itu cermin dari yang dipimpin. Maka, untuk mendapat pemimpin yang bersih, rakyat juga harus bersih. Rakyat harus bisa menolak dan mengawasi adanya praktek money politic. Mari menjadi pemilih yang cerdas!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun