Mohon tunggu...
Taufik Al Mubarak
Taufik Al Mubarak Mohon Tunggu... Tukang Nongkrong

Taufik Al Mubarak, blogger yang tak kunjung pensiun. Mengelola blog https://pingkom.com

Selanjutnya

Tutup

Catatan Artikel Utama

Kenapa Saya Trauma Berasuransi?

5 April 2015   20:59 Diperbarui: 17 Juni 2015   08:30 130
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Jangan coba-coba masuk asuransi jika anda tidak benar-benar siap! Inilah peringatan pertama yang saya terima saat memutuskan untuk ikut membeli produk asuransi di sebuah lembaga keuangan penyedia asuransi [dengan alasan etika, saya tak mau menyebut nama lembaga itu]. Awalnya, saya sama sekali tak berniat untuk ikut asuransi. Tapi, seorang teman, agen sebuah lembaga penyedia asuransi, membutuhkan bantuan saya untuk mendapatkan seorang klien. Soalnya, jika dia tak juga memiliki klien, dia akan dikeluarkan dari lembaga tersebut. Akhirnya, dengan perasaan berat dan semata-mata bantu teman, jadilah saya mengajukan aplikasi membeli produk asurasi (pemegang polis). Saat itu, kondisi keuangan saya masih stabil, jadi, kenapa tidak sekalian saja mempersiapkan sesuatu untuk hari tua. Begitulah yang sering disampaikan agen asuransi.

Layanan yang saya pilih adalah Unit Link Investa. Sekali pun sudah dijelaskan secara panjang lebar, saya tak begitu paham dan peduli dengan keuntungan yang akan saya terima dengan berasuransi itu. Yang penting saya sudah pegang polis. Teman-teman yang tahu saya masuk asuransi sampai sampai bilang, “Masuk asuransi itu mudah, tapi giliran klaimnya yang susah.” Sang teman bercerita tentang pengalamannya sendiri dan juga kawan-kawannya. Saya tak begitu peduli. Teman saya yang agen itu pun tak jadi dikeluarkan.

Saya ambil produk asuransi yang bayarannya bisa dilakukan dua kali dalam setahun. Setiap enam bulan sekali, saya rajin ke ATM mengirim setoran, sejumlah Rp1,3 juta. Jadi, kalau dihitung-hitung, berarti dalam setahun saya menyetor Rp2,6 juta. Selama 4 tahun, tiap jatuh tempo, saya rajin menyetornya dan sama sekali tak pernah menunggak.

Tapi, begitu masuk tahun ke-5, kondisi keuangan saya sudah mulai tak lagi stabil. Saya sering kali telat membayar setiap jatuh tempo. Sementara agen saya pun bukan lagi teman saya, sudah berganti dengan orang lain. Dia kebetulan memilih tak lagi bekerja di lembaga tersebut. Selain itu, alamat kantor saya pun sudah pindah, sementara surat pemberitahuan jatuh tempo masih dikirim ke alamat kantor yang lama. Jadi, saya sering tak tahu jika sudah jatuh tempo.

Awal-awalnya, memang, saya sering mendapat telepon dari agen asuransi bahwa polis saya sudah jatuh tempo. Saya pun berusaha bisa membayarnya, dengan asumsi, nanti saya masih memiliki asuransi yang bisa saya cairkan kalau kapan-kapan membutuhkan. Namun, karena kondisi keuangan yang tak stabil, jangankan telat, kadang-kadang saya malah tak menyetornya. Agen yang tahu saya sering telat menyetor menghubungi untuk mengingatkan, jika saya masih bisa membayarnya dengan dikasih deadline baru. Jika sampai tenggat itu tak saya bayar, mereka pun memotongnya dari jumlah tabungan polis saya. Akhirnya, setelah saya berhenti bekerja di sebuah kantor media, saya sama sekali tak lagi sanggup membayar, dan hingga sekarang tak tahu lagi bagaimana status polis saya. Apakah masih terdaftar atau tidak, saya tidak tahu. Pihak asuransi pun tak pernah lagi menghubungi saya.

Boleh dibilang, uang yang selama ini saya setor (selama 4 tahun itu) tak pernah saya ingat-ingat lagi.  Saya anggap itu bukan rezeki saya. Memang, saya pernah berencana menanyakan ke pihak asuransi bagaimana status polis saya. Tapi, karena kondisi keuangan yang kian tak stabil, saya mengurungkan niat. Bukan apa-apa, jika ternyata polis saya masih aktif, bagaimana saya bisa menyetornya karena kondisi keuangan belum benar-benar stabil. Saya yakin tak bisa menyetor tepat waktu juga. Akhirnya, saya ikhlaskan saja uang yang pernah saya setor. Kalau dipikir-pikir, rugi sih sejumlah uang hilang begitu saja. Tapi apa boleh buat. Itulah kenyataannya. Terus terang, sejak itu saya jadi trauma untuk masuk membeli produk asuransi lagi.

Mudah-mudahan pengalaman saya bisa menjadi pencerahan untuk teman-teman semua. Kalau anda memang memiliki penghasilan tetap dan kondisi keuangan sangat stabil, asuransi bisa menjadi salah satu medium untuk anda mempersiapkan dan merencanakan masa depan dengan lebih baik. Tapi, jika kondisi keuangan anda belum stabil dan angin-anginan, saya menyarankan teman-teman untuk menabung saja di bank atau membuka usaha yang hasilnya lebih jelas. Jika kapan-kapan anda punya kesulitan keuangan, masih bisa mengambilnya kembali. []

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun