Saya sedikit kaget ketika membaca sebuah informasi di DW Indonesia yang menyebutkan bahwa 3 kota di Provinsi Aceh termasuk dalam kategori kota paling tidak toleran di Indonesia. Informasi ini berasal dari rilis SETARA Institute, sebuah lembaga penelitian di Jakarta. Dalam laporan tahunannya, Setara membuat klasifikasi 94 kota di Indonesia dari "paling toleran" hingga "paling tidak toleran".
Dalam laporan yang disebut Indeks Kota Toleransi 2023, itu Setara mengelompokkan kota-kota berdasarkan berbagai variabel seperti undang-undang setempat, peraturan sosial, tindakan pemerintah, dan demografi sosio-religius. Berdasarkan kategori tersebut, maka tiga kota di Aceh yaitu Lhokseumawe, Sabang, dan Banda Aceh termasuk dalam peringkat kota yang paling tidak toleran di negara dengan jumlah penduduk muslim terbesar di dunia ini.
Menurut Direktur Eksekutif SETARA Institute, Halili Hasan, penyebab Aceh menjadi salah satu wilayah dengan Indeks Kota Toleran (IKT) di level bawah, karena ada regulasi yang salah dan tidak adanya birokrasi yang progresif, hingga terjadinya sistem sosial intoleran.
Berita tersebut tentu saja tidak memotret keadaan yang sesungguhnya, bahkan menjadi bahan tertawaan masyarakat Aceh terutama kaum muda yang sedang nongkrong di warung kopi. Mereka sudah cukup sering disuguhi berita sejenis, selain berita tentang Aceh sebagai provinsi termiskin di Sumatera. Sebagian besar masyarakat Aceh tidak percaya dengan hasil survei atau sensus tersebut. Sebab, menurut mereka, daya beli masyarakat Aceh masih cukup tinggi, warung-warung kopi di Aceh selalu penuh, serta gaya hidup masyarakat Aceh jauh dari keadaan seperti itu.
Jika Anda masih percaya Aceh itu wilayah tidak toleran, silakan berkunjung ke provinsi di ujung barat pulau Sumatera ini. Datanglah ke Peunayong, salah satu kawasan Pecinan di Banda Aceh. Masyarakat Aceh dan Tionghoa hidup berdampingan dan berbaur dengan masyarakat setempat. Bahkan di bulan ramadan seperti ini, warga Tionghoa juga ikut menjual takjil berbuka untuk umat Islam di Aceh. Mereka juga tidak membuka warung di siang hari.
Di Banda Aceh, katedral berdiri tidak jauh dari Masjid Raya Baiturahman, begitu juga dengan kuil/vihara dan gereja umat Kristiani. Bahkan di kawasan Keudah Banda Aceh, ada tempat ibadah umat Hindu. Saban tahun, umat Hindu Tamil di Aceh melaksanakan ritual Sithirai Maha Puja di Kuil Palani Andawer, Gampong Keudah, Kota Banda Aceh. Tidak ada penghalangan dari masyarakat setempat yang mayoritas beragama Islam.
Akhir-akhir ini, isu Rohingya menyita perhatian publik, karena warga Aceh mulai menolak kedatangan pengungsi etnis Rohingya ke kampung mereka. Ada upaya pengusiran warga yang tidak memiliki warga negara tersebut. Padahal, seperti kita tahu, jauh sebelum isu pengusiran ini terjadi, warga Aceh selalu menerima kedatangan etnis Rohingya, memberi makan dan tempat tinggal untuk mereka. Pengusiran terhadap etnis Rohingya akhir-akhir ini diyakini tidak murni berasal dari masyarakat, melainkan ada provokasi dari pihak-pihak tertentu.
Saya sendiri hidup dengan cerita yang penuh toleransi. Dulu, saaat masih bekerja di Jakarta, saya bekerja di sebuah kantor pembela hak asasi manusia di mana mayoritas pekerjaanya beragama Kristen dan berasal dari wilayah timur. Atau tahun lalu ketika belajar di Kampung Inggris di Pare, Kediri, saya pun bergaul akrab dengan banyak pelajar dari wilayah timur yang beragam katolik. Tidak ada upaya yang tidak saling menghormati. Saat hari Jumat, mereka pemeluk kristiani mengingatkan kami yang beragama Islam untuk salat Jumat, demikian pada hari Minggu giliran kami mengingatkan mereka agar pergi ke gereja.
Jadi, saya sedikit kaget tiap kali membaca berita bahwa Aceh merupakan salah satu wilayah yang tidak toleran di Indonesia. Untuk mereka yang masih meragukan betapa kosmopolit-nya Aceh, silakan bikin jadwal traveling ke Serambi Mekkah. Saya yakin opini Anda akan jauh berubah. []
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H