Sudah lama saya tidak menulis pantun. Seingat saya, menulis pantun atau puisi saya lakukan ketika masih duduk di bangku sekolah menengah atas atau saat awal-awal menjadi mahasiswa. Saat itu, hampir di semua buku catatan sekolah, berisi coretan pantun atau puisi, kebanyakan tidak selesai atau terpotong.Â
Beberapa pantun atau puisi yang 'selesai' saya tulis, saya kirimkan ke koran terbitan Medan, Harian Waspada. Biasanya, dalam sekali kirim, saya lampirkan lebih kurang 10 puisi/pantun. Sehingga hampir setiap minggu, puisi atau pantun saya dimuat di rubrik Abakadabra koran terbesar di luar Pulau Jawa, itu. Bahkan, beberapa lagi masih dimuat di Tabloid Dunia Wanita, yang juga satu group dengan Harian Waspada.Â
Saat itu, tidak hanya puisi yang saya tulis dan kirim ke koran Waspada. Sesekali saya juga mengirim cerita pendek (Cerpen). Ada beberapa karya saya yang dimuat di edisi Minggu. Di antara cerpen saya yang dimuat adalah "Potret Tua", "Parjo", dan "Camp Konsentrasi". Untuk setiap karya saya yang dimuat itu, saya tidak pernah mengambil honornya. Soalnya, untuk mengambil honor tulisan, kita harus ke Medan, Sumatera Utara.Â
Saat sudah menjadi mahasiswa di Banda Aceh, saya sudah tidak pernah lagi menulis pantun atau puisi. Saya lebih suka menulis artikel atau opini merespons isu yang sedang hangat di masyarakat. Seperti kita tahu, pada tahun 1999-2002, konflik sedang memuncak di Aceh, ditandai dengan perang terbuka antara TNI/Polri di satu sisi melawan pejuang Gerakan Aceh Merdeka (GAM) di sisi yang lain. Konflik dan kontak senjata di antara kedua kubu ini kerap menghasilkan korban dari masyarakat.
Secara umum, tulisan saya saat itu lebih banyak bertema tentang perdamaian. Bahkan saat ada momen olahraga pun saya coba kaitkan dengan perdamaian. Saya tidak mencatat berapa jumlah artikel saya yang dimuat di koran lokal, Harian Serambi Indonesia, saat itu. Tapi, saya akui, dengan menulis opini, saya seperti membangun branding sendiri sebagai penulis. Sebuah julukan yang sampai hari ini melekat pada diri saya, meski belakangan ini saya sudah jarang menulis.
Nah, karena ada tantangan dari Kompasiasiana untuk menulis pantun, saya sedikit kesulitan. Namun, saya harus mampu melewati tantangan ini. Makanya, jadilah pantun seperti di bawah ini.
//Bulan Ramadan
Jalan-jalan ke pasar Aceh,
Jangan lupa beli bolu.
Bulan Ramadan sudah di depan mata,
Mari kita sambut dengan penuh syukur.
Buah nangka di atas meja,
Dimakan bersama keluarga.
Mari kita jaga lisan dan mata,
Di bulan Ramadan penuh berkah.
Menanam padi di sawah yang luas,
Jangan sampai lupa disiram dan dipupuk.
Mari kita tingkatkan amal ibadah,
Di bulan Ramadan penuh rahmat.