Harapan Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) menjadi Calon Wakil Presiden dari Anies Baswedan pupus sudah. Ketua Umum Partai Nasdem lebih memilih Abdul Muhaimin Iskandar (Cak Imin) untuk mendampingi Mantan Gubernur DKI Jakarta tersebut. Anies sebagai 'boneka' Nasdem tidak bisa menolak atau memprotes keputusan Surya Paloh, dan memilih 'nurut' saja.
Padahal, seperti kita tahu, hubungan mesra Anies dan AHY sudah berjalan setahun lamanya, dan para kader Partai Demokrat sangat yakin jika putra SBY, itu bakal ditunjuk oleh Koalisi Perubahan untuk Kemajuan sebagai sosok yang akan mendampingi Anies dalam Pilpres 2024. Itu pula yang membuat kader Demokrat mati-matian membela Anies di media sosial maupun mengkampanyekan Anies melalui baliho dan spanduk yang bertebaran di seluruh pelosok negeri, berdampingan dengan AHY.
Namun, keputusan sudah diambil. Demokrat pun sudah menyatakan tidak lagi berada dalam koalisi yang mengusung sosok yang mereka anggap "pengkhianat" itu. Lalu, pertanyaan yang muncul di  benak banyak pengamat dan juga elit partai dari koalisi lain adalah kemanakah Demokrat akan berlabuh? Lalu, masihkah AHY punya peluang menjadi bakal Cawapres untuk Pilpres 2024? Sampai saat ini, jawabannya adalah masih misteri. Pun begitu, elit Demokrat kini mulai menjajaki kerjasama dengan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) dan mereka tidak lagi memaksakan kehendak "AHY harus cawapres" seperti di koalisi sebelumnya.
AHY dan Politik
Kemesraan Anies dan AHY yang berjalan setahun lamanya, rupanya hanya cinta sesaat. Dinamika politik sangatlah dinamis dan sulit untuk ditebak. Kesalahan AHY adalah terlalu mempercayai janji-janji politisi dan rayuan gombal Anies Baswedan yang oleh netizen diberi julukan "ahli tata kata". Jika sebelumnya para kader Demokrat membela Anies mati-matian, maka setelah 'pengkhianatan' akhir Agustus 2023, segala sumpah serapah kader Demokrat begitu mudah dijumpai di media sosial.
AHY sepertinya perlu disadarkan lagi bahwa dirinya sudah terjun 'basah' dalam politik, dan seyogianya, sudah paham bagaimana politik dan politisi bekerja. Politisi itu yang dipegang bukan kata-katanya melainkan tindakan. Ia bisa saja di pagi hari mengaku makan lontong sayur, tapi malam harinya mengatakan jika di pagi hari ia cuma makan nasi gurih. Soalnya, salah satu keterampilan (soft skill) yang perlu dimiliki politisi adalah 'bersilat lidah' dan 'menjilat ludah sendiri'.
Karena itulah, AHY hendaknya tidak terpukul dengan dinamika yang terjadi. Sebab, dia mesti paham begitulah politik dan politisi bekerja. Ia tidak boleh terkecoh dan terbuai, misalnya, dengan secarik surat yang tidak bisa menjadi bukti mengikat. Termasuk, misalnya, dengan janji manis yang diucapkan setelah Anies bertandang ke Cikeas, rumah orangnya, SBY. Sekalipun setelah pertemuan itu, Anies dengan lantang mengatakan bahwa koalisi Perubahan untuk Kemajuan masih solid.
Kini, AHY perlu menatap ke depan dan mulai 'move on' seperti disampaikannya dalam pidato pasca tidak lagi berada di Koalisi Perubahan. Para senior di internal Partai Demokrat perlu terus memberi saran dan nasehat untuk AHY terutama dalam mengarungi dinamika politik praktis. Merasa 'dikhianati' atau 'ditikam dari belakang' tidak boleh keluar dari mulut politisi dan politikus. Sebab, seperti sudah kita sampaikan di atas, begitulah politik dan politisi bekerja!
Terima Kenyataan "AHY baru Layak Calon Menteri"
Saya bisa memahami 'sakit hati' yang diderita para kader Partai Demokrat setelah Ketua Umum-nya ditolak mentah-mentah oleh Surya Paloh dan Anies Baswedan. Tapi itu tidak boleh membuat mereka lalai dan alpa untuk bekerja memenangkan Pileg 2024. Sebab, itulah peluang satu-satunya yang kini paling masuk akal untuk diperjuangkan Demokrat.Â