Kali ini saya akan bercerita tentang Homer Bigart, seorang reporter The New York Times dengan gaya bicara sedikit gagap, jurnalis peliput perang handal, dan penyabet dua Hadiah Pulitzer untuk liputan perangnya. Ia bisa menjadi sumber inspirasi bagi wartawan muda yang ingin menjadi jurnalis jempolan.
Sebagai wartawan perang, Bigart memiliki metode liputan yang sedikit berbeda dari juru warta lain yang meliput bersamanya. Ia mampu mengendus sebuah fakta yang coba disembunyikan darinya, di mana wartawan lain mungkin alpa memperhatikannya. Alhasil, ia mampu membongkar kegagalan sejumlah pejabat militer yang menjadi penanggung jawab di lapangan.
Metode liputan Homer Bigart itu sangatlah sederhana: ia tidak begitu saja percaya omongan pejabat berwenang. Setiap wartawan memang harus meniru metode ini, agar tidak menjadi sekadar tukang ketik omongan narasumber di media tempatnya bekerja. Menulis ulang omongan pejabat itu pedih, jenderal!
Dalam Blur: Bagaimana Mengetahui Kebenaran di Era Banjir Informasi (2012), Bill Kovach dan Tom Rosenstiel menulis bahwa Bigart tidak gampang menelan apapun yang didengarnya, dan tidak mengutip pernyataan seseorang mentah-mentah. "Dia memulainya dengan konsep tabula rasa," tulis dua penulis buku laris The Elements of Journalism, itu.
Bigart memulai reportasenya seperti orang bodoh yang tidak mengerti apapun, pikirannya tidak dijejali dengan asumsi-asumsi sesat, dan jika seseorang memberitahukan sesuatu maka ia akan minta ditunjukkan buktinya.
"Dia datang dengan pengetahuan sedikit tapi lantas menguak semuanya," kata William Prochnau, seperti dikutip Kovach dan Rosenstiel. Prochnau sendiri adalah seorang koresponden perang yang masih muda ketika itu, dan dia banyak belajar dari Bigart dalam hal reportase.
Bigart memang tidak lama meliput perang Vietnam, namun kehadirannya ke Saigon (kini Ho Chi Minh City) memberi pengaruh luar biasa kepada para jurnalis muda yang meliput bersamanya di Vietnam.
Bagi kalian yang sudah menonton film The Post, sebuah film yang mengisahkan upaya koran The Washington Post membocorkan Pentagon Papers ke publik Amerika, pasti ingat Neil Sheehan, sebuah nama yang begitu diperhitungkan oleh Ben Bradlee, editor The Washington Post. Bradle bahkan sampai harus mengirim wartawan magang ke kantor The New York Times untuk menelisik apa yang dikirimkan Sheehan dari Vietnam.
Sebelum The Washington Post membongkar Pentagon Papers sebenarnya The New York Times lebih dulu menulis soal perang Vietnam itu termasuk mengabarkan tentang kebohongan pemerintah mengenai perang. Penulisnya adalah Sheehan, wartawan yang belajar banyak pada Bigart.
Sekiranya The Times tidak dihukum berupa pelarangan terbit kala itu, mungkin bukan The Post melainkan The Times-lah yang bakal membongkar skandal Pentagon Papers itu. Entahlah.