Menyimak banyak orang meninggal di Aceh akhir-akhir ini, jadi teringat film “A Million Ways to Die in the West (Sejuta Cara untuk Mati di Barat)”. Kematian adalah misteri ilahi – status facebook.
Bayangkan saja, malam ini pada 142 tahun yang silam. Kalau saat itu ada Facebook atau Twitter, kira-kira, apakah kita sempat menulis status dan berkicau? Atau kalau kita lagi makan di sebuah cafe, apakah makanan itu bakal kita kunyah dengan tenang? Atau kebetulan kita lagi nongkrong di warkop dan berha-hi-hu dan lalu tahu-tahu besok negeri kita berperang, apakah kita masih sempat tertawa lebar? Saya ragu menjawab semua pertanyaan remeh-temeh itu dengan ‘Ya’.
Orang-orang di Belanda pasti akan berdoa di gereja dan berharap anggota keluarganya yang berperang ke Aceh bisa pulang dengan selamat. Di Batavia, pasukan marsoseyang berasal dari pelosok-pelosok Jawa pasti tak bisa tidur nyenyak karena mereka tak bisa memastikan apakah dapat kembali dengan selamat atau tidak. Sementara di Aceh, sekali pun orang Aceh menggemari perang, pasti mereka tak menyambutnya dengan suka-cita, sekali pun agama mereka memberi garansi surga untuk siapa saja yang dengan gagah berani maju ke medan perang dan mati berlumuran darah. Para pejuang Aceh yang sudah bersiap maju berperang, mereka pasti menggali ‘kurok-kurok’ (boleh dibilang sejenis bungker tradisional) di dalam rumah untuk keluarga mereka yang tak bisa ikut berperang. Orang-orang inilah yang nantinya bakal jadi orang tueng bila (penuntut balas) jika keluarga yang berperang itu meninggal.
Karenanya, kasak-kusuk tak hanya terjadi di negeri Belanda, Batavia atau Kutaraja saja. Orang-orang di tempat lain juga sama sibuknya, seperti orang-orang di Turki. Semua harap-harap cemas, soalnya, Belanda sudah mengambil keputusan menyerang Aceh. Belanda jelas kesal dengan Aceh, kerajaan di ujung Sumatera yang dianggapnya genit itu [ah, terlalu mengada-ada saya ini].
Permintaan-permintaan untuk penyerahan diri Aceh ditolak dengan tegas. Malah, dalam satu riwayat yang berkembang, permintaan menyerah dijawab oleh orang Aceh dengan membalikkan badan berlagak orang kentut sambil berteriak, ‘Bek lei takheun nanggroe, manok nyang tan gigoe lam bumoe Aceh nyoe bek ka coba-coba raba!’. Nah, genit, kan? Jadilah, Aceh dan Belanda terlibat perang berkepanjangan. Kedua belah pihak sama-sama menderita kerugian. Kalau dipikir-pikir, Aceh-lah yang lebih merugi. Sebab, setelah Belanda resmi keluar dari Aceh tahun 1942, Aceh kehilangan kedaulatannya. Kalau soal korban, tak perlu ditanya. Namanya saja perang, pasti ada yang meninggal, ada yang cedera dan ada yang sakit jiwa. Makanya, orang bijak sering memberi saran, “jika kita tidak menghentikan perang, maka perang-lah yang akan menghentikan kita”.
By the way, malam ini, setelah 142 tahun silam, rupanya masih ada orang yang mati di Aceh. Orang-orang cemas bukan main. Sebab, betapa gampangnya orang mati di Aceh. Setelah dua intel TNI yang diculik ditemukan tewas di Nisam, Aceh Utara, secara beruntun kita menerima kabar kematian seorang janda yang dibunuh di rumahnya di kawasan Darul Imarah, Aceh Besar, lalu ada anggota Polres Pidie yang ditembak hingga tewas di Tangse, Pidie. Sebelum-sebelumnya, ada yang meninggal diinjak gajah, diterkam harimau atau meninggal ketika mencari batu giok dan tertimbun longsor. Ada banyak jalan cara mati di Aceh.
Saya tak habis pikir, kenapa orang-orang luar biasa ributnya merespon kematian dua anggota intel TNI itu? Memang, kematian adalah perkara serius dan kejadian luar biasa. Tapi, lupakah kita, bahwa kematian selalu akrab dengan Aceh: tidak saja TNI, Polisi, dan GAM, karena mereka memang memilihnya begitu. Yang kita sesali, ada masyarakat tak berdosa jadi korban. Dulu, bukan satu-dua orang Aceh meninggal, tapi ribuan. Respon publik di Aceh dan Jakarta biasa-biasa saja. Mereka diam seribu bahasa. Ada sih yang memprotes, tapi suara mereka tak cukup gemanya untuk memberitahu khalayak. Sementara orang-orang di Aceh sudah menganggap hal biasa soal kematian, dan sudah lumrah. Karena, perkara mati di Aceh bukan lagi soal siapanya, tapi soal kapan? Hari ini orang lain yang mati, besok kita sendiri yang mati. Begitu siklusnya.
Pun begitu, kita tak bisa menolerir para pelaku yang begitu mudahnya menghilangkan nyawa orang, apalagi hanya karena alasan sepele. Selayaknya, siapa pun pelaku, kita pantas mengutuknya. Sebab, mereka sama saja memprovokasi perdamaian Aceh dan sedang berupaya menulis ulang kitab konflik yang sudah ‘dibakar’ di Helsinki hampir sepuluh tahun silam.
Perdamaian memang membuat kita dapat hidup tenang, sesuatu yang tak bisa kita dapatkan dalam suasana konflik. Perdamaian tak pernah dapat memberi garansi dengan pasti bahwa begitu damai tercipta, sesuatunya akan berjalan normal, apalagi garansi kesejahteraan. Lazim terjadi dalam setiap perdamaian tercipta di Aceh, ada yang menikmati ‘boh manok mirah’, dan ada pula yang kebagian ‘boh manok kom’. Semua sangat tergantung pada usaha masing-masing.
Sekali pun saya mencoba tegar menulis posting ini, ada yang membuat saya sedih. Anak teman saya, berumur 7,5 tahun dan masih duduk di bangku kelas 1 sekolah dasar, sepulang ke rumah dari sekolah, sembari memberi tahu orang tuanya, “Ayah, ada orang tua teman saya meninggal karena ditembak.” Bayangkan, seorang murid sekolah tahu soal penembakan. Secara tidak langsung, mereka sudah diajari kembali soal pembunuhan, perang, dan penembakan menggunakan senjata.
Wahai, siapa pun yang sedang punya agenda mengobok-obok Aceh, janganlah memancing kembali Aceh ke pusara konflik, karena korban-korban sebelumnya, belum sepenuhnya disantuni! Luka-luka belum seutuhnya sembuh. Ingatlah, betapa besar duka orang Aceh pada 142 tahun silam ketika Belanda secara pongah dan congkak memaklumkan perang terhadap Aceh. Duka itu belum benar-benar pulih sekarang. []
Note: refleksi peringatan 142 Tahun Maklumat Perang Kerajaan Belanda terhadap Aceh (26 Maret 1873-25 Maret 2015). Foto: Lambaroe suatu ketika di tahun 1896 | Wikimedia. Tulisan ini sudah diposting di blog penulis www.sulih.com