Mohon tunggu...
Kang Mizan
Kang Mizan Mohon Tunggu... Penulis - Pensiunan Peneliti Utama Kementerian Keuangan R.I. email: kangmizan53@gmail.com

Pensiunan Peneliti Utama Kementerian Keuangan R.I.

Selanjutnya

Tutup

Vox Pop Pilihan

Poor Voters Disayang dan Dibuang

18 April 2024   19:35 Diperbarui: 18 April 2024   19:47 80
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
M. Sukhry Abbas, Pixabay 

Kilas balik sejenak Pemilu Serentak 14 Februari yang lalu. Ada dua  jenis Pemilu yang digelar disini, yaitu: (i) Pilpres dan (ii) Pileg. Pilpres tentu saja untuk memilih salah satu dari Paslon 01 02 dan 03 sedangkan Pileg iya dong untuk memilih para legislator nasional dan daerah yang persisnya adalah pada tingkat nasional kita memilih anggota DPR dan DPD dan pada tingkat daerah kita memilih anggota DPRD Provinsi dan anggota DPRD Kabupaten/Kota.

Nah, dalam artikel kecil ini kita hanya akan membahas legislator nasional dan hanya untuk DPR. DPD tidak kita bahas karena DPD tidak memiliki kewenangan legislasi; tidak ada otoritas dalam pembentukan undang-undang.

Fokus pada pembahasan legislator DPR dilakukan mengingat tugasnya yang demikian strategis dan penting di satu sisi, dan, di sisi lain, kabar buruknya, diyakini bahwa untuk lolos ke Senayan dibutuhkan uang puluhan miliar rupiah. Lebih spesifik, Akbar Faizal, mantan anggota DPR dan owner Podcast Akbar Faizal Uncensored mengatakan bahwa untuk daerah pemilihan DKI Jakarta minimal perlu uang Rp25 miliar untuk lolos ke Senayan itu. Jauh sebelumnya, Almarhum Tjahjo Kumolo (PDIP) mengatakan bahwa untuk lolos ke Senayan bahkan bisa merogoh kocek hingga Rp46 miliar! Ruarr biasa.

Kenapa demikian super mahal  dan diluar nalar ya? Jawabnya adalah oleh karena para Caleg itu untuk berkomunikasi dengan para pemilih (voters) perlu melakukanya dengan cara berkampanye door to door secara langsung dan/atau melalui Timses dalam jumlah yang besar. Kegiatan-kegiatan ini sebetulnya tidak dapat diartikan kampanye karena yang dibicarakan lebih banyak aspek sosial kekeluargaan, keakraban, dan bukan aspek ideologi dan/atau program-program pembangunan lima tahun mendatang. 

Juga, adalah sangat manusiawi jika dalam kunjungan tersebut para Caleg ini, umumnya ya, membawa buah tangan dalam berbagai bentuk baik in kind seperti Sembako maupun dalam bentuk uang cash. Bahkan, tidak jarang kita dengar ada tarifnya loh seperti Rp100 ribu untuk satu suara.

Ini dilakukan demikian karena tidak mungkin berkomunikasi secara tidak langsung seperti melalui media Tv dan radio, podcast dan youtube, dan media.com lainya. Pemilih akar rumput ini umumnya berada dalam kelompok miskin atau rawan miskin dan juga tidak termasuk dalam kelompok learned people. Banyak yang menyebut mereka sebagai Pemilih yang tidak cerdas, pemilih norak, atau, bahkan disandingkan sebagai poor voters. 

Penulis sependapat dengan semacam opini atau hipotesa yang mengatakan kelompok pemilih tidak cerdas, pemilih norak, poor voters ini secara evolusi akan berubah menjadi pemilih cerdas, sharp voters, seiring dengan perbaikan kesejahteraan mereka. Katakanlah transformasi sosial itu akan mencapai titik kulminasinya, jumlah mereka itu akan sudah sangat kecil sekali, jika pendapatan per kapita rata-rata mereka sudah setara dengan pendapatan rata-rata per kapita di negara-negara kawasan ASEAN seperti di Singapura, Malaysia, dan Thailand; Pendapatan rata-rata per kapita sekitar Rp20 juta per bulan. 

Pertanyaanya sekarang adalah apakah evolusi transformasi sosial yang demikian sudah dan akan terus berlanjut hingga 2030 atau bahkan hingga Indonesia  Emas (Cemas?) tahun 2045? Penulis meragukan hal ini dan bahkan sebaliknya, secara intuisi, melihat jumlah kelompok poor voters ini bahkan terus bertambah. 

Lihat saja, misalnya, jumlah penerima berbagai bantuan sosial (Bansos), yaitu, orang-orang yang termasuk dalam kelompok miskin dan rawan miskin terus bertambah. Jika diawal era reformasi, tahun 1998/99, jumlahnya hanya sekitar 20 juta orang, sekarang, tahun 2024, 25 tahun kemudian, seiring dengan pertumbuhan jumlah penduduk, jumlahnya sudah sekitar 100 juta orang! Sekitar orang Indonesia adalah orang miskin dan rawan miskin, saat ini. 

Implikasinya, sangat mencemaskan, ketergatungan kita pada poor voters, pemilih norak ini terus bertambah berat. Kandidat mana saja, secara umum, semangkin tergantung pada kelompok ini untuk dapat kursi, dan, adalah sangat wajar jika yang bergantungan ini kualitas dan integritasnya juga norak dan jerk.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Vox Pop Selengkapnya
Lihat Vox Pop Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun