Mungkin masih ingat bahwa Pemilihan Umum (Pemilu) di Era Orde Baru menjamin semua golongan untuk memiliki kursi di MPR. Selain yang dipilih ada utusan golongan yang diangkat, yang mencakup golongan purnawirawan, pensiunan, teknokrat, masyarakat adat, dan utusan daerah. Â
Namun sayangnya, siapa saja yang akan mewakili setiap golongan itu perlu mendapat "restu" dari Pak Harto. Kedaulatan rakyat melenceng menjadi kedaulatan restu.Â
Serupa tapi tak sam. Sekarang, di Era Reformasi, mungkin sejak Pemilu 2009, anggota legislatif nasional terdiri dari dua golongan yaitu Utusan Daerah dan anggota DPR. Anggota DPR merupakan wakil dari partai politik sedangkan anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) mewakili masing-masing daerah pemilihan. Mereka semua dipilih langsung oleh rakyat sesuai amandemen UUD 1945.
Sejak beberapa Pemilu terdahulu, publik merasakan cacat konstitusional yang timbul dan menjadi pelik yang bersumber dari kenyataan pemilih akar rumput kita, dalam porsi yang besar,dikatakan sebagai  "pemilih norak. " Pemilih norak ini sangat sulit, jika bisa, diajak berkomunikasi tentang objektivitas Pemilu.Â
Selain itu, komunikasi dengan pemilih norak ini sangat sulit juga, jika bisa, dilakukan secara tidak langsung seperti via tv, media online, internet, youtube, dan lain sebagainya. Dengan demikian, komunikasi yang dilakukan lebih berpola komunikasi door to door dengan menggunakan tim sukses (timses) yang banyak sekali.
Menurut beberapa sumber, ada yang mengatakan bahwa porsi mereka itu sekitar 90 persen dari keseluruhan jumlah pemilih. Angka ini antara lain penulis dengar dalam suatu Webinar beberapa waktu yang lalu.
Kondisi seperti itu bermuara pada biaya komunikasi sangat-sangat mahal. Estimasi nya beragam dan menurut Alm. Tjahjo Kumolo uang yang harus dihabiskan oleh seorang Caleg untuk berhasil mendapatkan kursi DPR bisa mencapai Rp46 miliar. Jarang yang tidak setuju bahwa biaya itu adalah super mahal dan tidak masuk akal jika diperhitungkan dengan penghasilan anggota dewan.
Jelas dan tidak mengejutkan bahwa hanya orang, atau, cukong, yang memiliki miliaran rupiah yang dapat menjadi anggota dewan, secara umum. Dalam perspektif lain, dan, analogi dengan Cukong kedaulatan rakyat Prof Mahfud MD, hanya orang yang diuangi oleh para cukong itu yang bisa duduk di kursi DPR/DPD, sekali lagi secara umum.
Iklim yang tidak kondusif seperti itu bermuara pada banyak anggota dewan terpilih tidak memiliki kapasitas dan integritas apa lagi memiliki sense of nationalism dan sense of heroism. Mereka tidak pekah atas kondisi sosial ekonomi Indonesia yang sangat terpuruk saat ini. Mind set mereka tidak pada platforms untuk memakmurkan dan menghebatkan bangsa ini.Â
Sebaliknya, mereka lebih mengutamakan kepentingan pribadi dan/atau kepentingan para cukong itu. Mereka itu juga seperti kita juga dan adalah manusiawi jika mereka juga berpikir untuk mencari upaya pengembalian modal dan mencari modal baru untuk Pemilu yang akan datang.
Lingkungan seperti ini perlu dirombak total agar Indonesia bisa kembali bergerak di jalan yang benar menuju Indonesia makmur dan Indonesia hebat. Perombakan itu dimungkinkan jika komposisi anngota legislatif nasional ditambah dengan anggota-anggota yang mewakili semua golongan. Ditambah dengan anggota-anggota yang memiliki integritas dan kapsitas yang tinggi serta bebas dari pengaruh para cukong.Â
Penambahan itu jangan melalui jalur Pemilu biasa sebab dengan jalur biasa kembali para Caleg itu akan berhadapan dengan pemilih norak, yang otomatis memerlukan uang puluhan miliar rupiah untuk dapat berhasil lolos ke Senayan. Buat jalur baru seperti lotre atau door prize.Â
Jalur ini layaknya seperti The US Green Card Lottery. Green Cards ini adalah visa seumur hidup untuk tinggal dan bekerja di States. Setiap tahun sekitar 55 ribu orang memenangkan lotre ini dan dapat dengan otomatis berimigrasi ke Amerika Serikat.
Jalur biasa untuk masuk ke States sangat berat. Akan super sulit untuk mendapatkan visa kerja apalagi visa permanent resident (PR).
Analogi, juga hampir mustahil kita dapat memperbanyak porsi anggota legislatif nasional (DPR dan DPD) dengan kualifikasi termaksud, dengan sistem Pemilu yang ada sekarang. Orangnya sendiri ya berlimpah. Dari sekitar 275 juta penduduk, ada jutaan orang yang memiliki kapasitas dan integritas mumpuni tersebut. Mereka itu terdiri dari guru/dosen, aktivist, mahasiswai/i, purnawirawan/pensiunan, pekerja seni, tenaga medis, olah ragawan/ti, buruh/karyawan, driver online, dan banyak lagi.Â
Belum terlihat ada indikasi sistem Pemilu ini akan direvisi. Belum ada bayangan perubahan itu akan terjadi baik dalam perspektif jangka menengah dan jangka panjang. Biasanya, perubahan baru akan terjadi jika terjadi kembali revolusi seperti tahun 1965 dan tahun 1998. Biaya dan beban rakyat akan sangat besar jika kita hanya menunggu momentum revolusi itu. Lebih menyakitkan lagi, winners dari revolusi ini kembali lagi ke kelompok oligarki, biasanya.
Gerakan kostitusional untuk menghadirkan pola semacam "Door Prizes" jauh lebih baik dibandingkan dengan pasrah tidak melakukan apa-apa dan hanya menunggu, entah kapan, revolusi akan terjadi kembali. Jelas tidak gampang tetapi ada tujuan kongkrit yang terukur di sini dan dengan dukungan teknologi terkini gerakan ini akan dapat berkembang secara relatif cepat.Â
Kita bersama perlu mengetuk hati orang-orang yang kita kenal untuk bergabung, secara gratis, ke gerakan "Door Prize for Legislator Nasional."
Hayu sebarkan A New Hope ini.
kontak: kangmizan53@gmail.com
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H