Pemilihan Umum (Pemilu) di Era Orde Baru menjamin semua golongan untuk memiliki kursi di MPR. Ada golongan purnawirawan, pensiunan, teknokrat, masyarakat adat, utusan daerah dan lain sebagainya.Â
Sayangnya, siapa saja yang akan mewakili setiap golongan itu perlu mendapat "restu" dari Pak Harto. Kedaulatan golongan tercemar dalam kondisi seperti ini.
Di Era Reformasi sekarang, anggota legislatif nasional terdiri dari dua golongan yaitu Utusan Daerah dan anggota DPR. Anggota DPR merupakan wakil dari partai politik sedangkan anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) mewakili masing-masing daerah pemilihan. Mereka semua dipilih langsung oleh rakyat.Â
Masalahnya timbul dan menjadi pelik karena jumlah "pemilih norak" sangat besar. Ada yang mengatakan bahwa porsi mereka itu sekitar 90 persen dari keseluruhan jumlah pemilih. Angka ini penulis dengar dalam suatu Webinar beberapa waktu yang lalu.
Pemilih norak ini sangat sulit, jika bisa, diajak berkomunikasi tentang objektivitas Pemilu. Selain itu, komunikasi dengan pemilih norak ini sangat sulit juga, jika bisa, dilakukan secara tidak langsung seperti via tv, media online, internet, youtube, dan lain sebagainya. Dengan demikian, komunikasi yang dilakukan lebih berpola door to door dengan menggunakan tim sukses (timses) yang banyak sekali.Â
Biaya komunikasi tidak langsung berpola door to door dengan menggunakan ratusan anggota Timses sangat-sangat mahal. Menurut Alm. Tjahjo Kumolo uang yang harus dihabiskan oleh seorang Caleg untuk berhasil mendapatkan kursi DPR bisa mencapai Rp46 miliar. Super mahal dan tidak masuk akal jika diperhitungkan dengan penghasilan anggota dewan.
Tidak mengejutkan dengan demikian bahwa hanya orang yang memiliki miliaran rupiah yang dapat menjadi anggota dewan. Atau, analogi dengan Cukong kedaulatan rakyat Prof Mahfud MD, hanya orang yang diuangi oleh para cukong itu yang bisa duduk di kursi DPR/DPD.
Implikasinya, banyak anggota dewan terpilih tidak memiliki kapasitas dan integritas apa lagi memiliki sense of nationalism dan sense of heroism. Mereka lebih mengutamakan kepentingan pribadi dan/atau kepentingan para cukong itu. Adalah manusiawi jika mereka juga berpikir untuk mencari upaya pengembalian modal dan mencari modal baru untuk Pemilu yang akan datang.Â
Namun, hal ini tidak bisa kita amini terus menurus. Praktik ini harus dikoreksi agar kita berada di jalan yang benar menuju Indonesia makmur dan hebat.Â
Banyak putra/putri terbaik bangsa ini yang lebih layak untuk duduk sebagai anggota dewan. Mereka memiliki kapasitas dan integritas yang mumpuni. Mereka juga memiliki sense of nationalism dan sense of heroism. Namun, mereka tidak memiliki uang miliaran rupiah itu.