Beberapa hari yang lalu ada flyer politik yang cukup viral. Flyer dengan hak cipta @donadam68 ini berjudul Maling itu Ada Dua: Maling Biasa dan Maling Politik. Maling biasa menurutnya adalah dia mencuri hartamu, perhiasanmu, dll. Selanjutnya dikatakan Maling Politik itu dia mencuri masa depanmu, mimpimu, pekerjaanmu, pendidikanmu, kesejahteraanmu, kesehatanmu, dll. Donadam68 selanjutnya mengatakan Perbedaanya sangat aneh. Maling biasa: dia memilihmu, dan, sebaliknya, Maling Politik: kamu yang memilihnya.
Ada dua hal yang dapat disimpulkan disini. Pertama, maling biasa memang menggangu namun dampaknya dalam kondisi Indonesia saat ini tidak begitu mencemaskan. Sebaliknya, maling politik dampaknya demikian parah karena ancaman kerusakan atas pilar-pilar bernegara: masa depan, mimpi, pekerjaan, pendidikan, kesejahteraan, dan Kesehatan, dan lain sebagainya.
Kedua, maling politik adalah pejabat negara yang dipilih oleh rakyat, sesuai dengan narasi @donadam68 diatas, maling politik kamu yang memilihnya. Dengan demikian, maling politik yang dimaksud oleh @donadam68 itu adalah pejabat negara yang dipilih melalui pemilihan umum, mulai dari kepala desa, bupati/walikota, hingga presiden untuk cabang pemerintahan (eksekutif), dan, untuk cabang legislatif, mulai dari dewan desa, DPRD, hingga DPR. Mereka itu juga termasuk yang berafiliasi dan/atau yang disponsori oleh partai politik.
Maling politik ini sangat meluas dan terjadi mulai dari bawah hingga pejabat tinggi negara. Tak terhitung jumlah kepala desa yang masuk penjara, anggota DPRD, bupati/walikota, gubernur, menteri kabinet, dan anggota DPR.
Sebagai ilustrasi, misalnya, Suara.com, 18 Mei 2022, melaporkan bahwa hingga Mei 2022 tercatat 323 bupati/wali kota di Indonesia telah ditangkap dan ditahan terkait dengan tindak pidana korupsi. Data ini dilansir oleh Suara.com berdasarkan penjelasan dari Sekretaris Satuan Tugas Saber Pungli Pusat Republik Indonesia Irjen Pol Agung Makbul.Â
Selanjutnya, Detik.com, 29 September 2019, tayang artikel dengan judul: "Jejak Para Anggota DPR 2014-2019 yang Terjerat Kasus Korupsi." Disini dilaporkan sejumlah 23 orang anggota/pimpinan DPR yang tersangkut pidana korupsi, gratifikasi, sogok, pencucian uang, dan lain sebagainya. Mereka itu mulai dari Ketua DPR RI (Setya Novanto Golkar), Anggota Komisi VII (Sutan Batoeghana Demokrat) (Alm), Anggota Komisi XI (Romahurmuziy PPP), hingga anggota Komisi V Musa Zainuddin (PKB).
Lebih jauh, Wikipedia melaporkan jumlah menteri kabinet yang dipenjara karena kasus korupsi. Dalam laporan ini dikatakan bahwa ada 12 orang mulai dari Rokhmin Dahuri (Menteri KKP), Jero Wacik (Kementerian ESDM), Surya Dharma Ali (Kementeri Agama) hingga Juliari Batubara (Kementerian Sosial).
Umumnya ada kesepakatan bahwa biang penyakit maling politik itu adalah mahalnya biaya politik. Misalnya, Tjahjo Kumolo pernah mengatakan bahwa untuk berhasil menjadi anggota DPR bisa menghabiskan uang hingga Rp43 miliar. Kemudian, juga umumnya disepakati bahwa "sewa perahu" untuk menjadi kandidat itu sangat mahal yang untuk jenjang gubernur saja bisa dalam hitungan trilunan rupiah. Untuk Capres apa bisa kurang dari puluhan triliun rupiah?
Mahalnya biaya politik itu membuka akses yang luas bagi Oligarki untuk masuk dalam pemerintahan dan politik. Hal ini sejalan dengan konsep Prof Winters bahwa oligarki adalah kondisi atau fenomena beberapa orang yang sangat kaya menggunakan kekayaan mereka untuk mempengaruhi politik dan tatakelola negara dan Oligark adalah orang yang super kaya itu.
Lebih jauh, Prof Winters mengatakan bahwa Oligarki tidak berusaha menentukan siapa pemenang Pemilu tetapi oligarki menentukan siapa saja yang boleh ikut sebagai kandidat Pemilu (Capres/Caleg). Dengan demikian siapa saja yang menjadi pemenangnya adalah orang-orang yang dikendalikan oleh oligarki. Apa memang demikian? Untuk itu kita perlu melihat bisnis proses pencalonan kandidat yang diatur oleh UU Pemilu dan untuk saat ini yang berlaku adalah UU No 7/2017 tentang Pemilihan Umum.