Presiden Joko "Jokowi" Widodo dalam konferensi virtual Forum Rektor Indonesia (FRI), Sabtu, 4 Juli yang lalu, memperlihatkan dukungan yang tinggi atas sistem kuliah dalam jaringan internet yang disebutnya sebagai kuliah daring. Lebih jauh lagi Beliau menyatakan bahwa kuliah daring telah menjadi normal baru (new normal) bahkan normal selanjutnya (next normal) bagi para mahasiswa dan universitas.
Dalam nuansa yang sama tetapi dalam lingkup pendidikan yang lebih luas, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Nadiem Makarim menyatakan bahwa model Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ), atau, a distance learning model, yang ketika PSBB diberlakukan, mulai diperkenalkan untuk jenjang pendidikan dasar dan menengah, kini akan diberlakukan secara permanen. Sayangnya, ini banyak menuai kontroversi. Hal ini terutama bersumber dari kurangnya penjelasan Mas Nadiem tentang rencana penerbitan kebijakan-kebijakan penting terkait elemen-elemen penting PJJ yang wajib disiapkan oleh institusi pendidikan.
Learning Management Systems (LMS)
Seperti diadopsi secara internasional, elemen terpenting dari PJJ adalah ketersediaan Learning Management System (LMS) yang merupakan aplikasi perangkat lunak (a software application) yang digunakan untuk administrasi, dokumentasi, tracking, pelaporan, otomatisasi dan belajar/kuliah, program-program pelatihan, atau digunakan untuk program-program belajar dan pengembangan. Beberapa LMS yang populer, banyak digunakan, adalah Violet LMS, Talent LMS, eQualio, dan Moodle.
Jarang sekali, jika ada, sekolah dasar dan menengah di Indonesia yang sudah memiliki LMS apalagi plus SDM yang mengelolanya. Mereka sangat mengharapkan agar Mantan Bos Aplikasi GoJek ini segera menerbitkan kebijakan dan sosialisasi untuk menggunakan aplikasi perangkat lunak ini.Â
Di jenjang perguruan tinggi, Universitas Terbuka (UT) dalam satu dua dekade terakhir sudah menggunakan LMS ini. Universitas Indonesia sudah memiliki LMS namun penulis dengar masih dalam kapasitas yang terbatas dan belum begitu intensif digunakan. Universitas dan perguruan tinggi negeri (PTN) yang lain, apalagi yang di luar pulau Jawa sangat sedikit, jika ada, yang sudah memiliki dan/atau menggunakan LMS secara optimal.
PTS yang penulis dengar sudah memiliki dan menggunakan LMS dengan cukup optimal adalah Universitas Taruma Negara, Jakarta. Penulis perlu bergerak lebih cepat lagi untuk inventarisir PTS-PTS mana saja yang sudah tune in dengan LMS.
Rp10 Miliar untuk Setiap Prodi BaruÂ
Baik pernyataan Presiden Jokowi maupun pernyataan Menteri Nadiem diatas memang sejalan dengan perkembangan tech 4.0 sekarang ini. Namun, banyak kebijakan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan yang bukan saja tidak sejalan dengan semangat tech 4.0 tersebut tetapi juga bertentangan serta banyak yang memasung fleksibilitas dan prinsip link and macth insitusi pendidikan dan dunia usaha yang antara lain disinggung oleh Presiden Jokowi dalam acara FRI diatas. Ini, misalnya, terkait dengan perizinan pelayanan inisiatif pembentukan Prodi baru.
Saya yakin bagi yang sudah cukup lama mengajar dan/atau kolaborasi dengan PTS mengetahui atau pernah mendengar bahwa setiap PTS yang akan membuat Prodi baru diwajibkan setor uang hingga Rp10 miliar untuk setiap Prodi baru yang diusulkan. Tujuannya adalah untuk menjamin agar mahasiswai memiliki kepastian untuk menyelesaikan studi mereka secara tepat waktu tanpa terkendala oleh faktor internal PTS.
Semangat dan/atau tujuan setoran uang miliaran rupiah itu sungguh sangat mulia tentunya. Namun, ini bukan praktik yang lazim secara internasional sebab institusi pendidikan mengemban fungsi sosial yang sangat tinggi yang mencakup semangat nationalism, tolerance, dan diversity yang juga disinggun oleh Presiden Jokowi dalam acara FRI diatas. Institusi pendidikan tidak dapat disamakan dengan entitas bisnis yang dengan ringannya dapat menerbitkan semacam performance bonds dalam business deals mereka masing-masing.