Kita umumnya masih ingat bahwa tanggal 1 Oktober adalah Hari Kesaktian Pancasila dan kemarinnya kita kenal dengan peristiwa G30S PKI. Keduanya terjadi di tahun 1965. Itu terjadi 54 tahun yang silam ketika tujuh Pahlawan Revolusi dianiaya, disiksa, dibunuh dan dibuang ke sumur tua di Lubang Buaya, sekarang sekitar areal TMII, Jakarta Timur.
Pada tanggal 1 Oktober terkini, ya itu beberapa hari yang lalu, ketika lagi lihat-lihat judul artikel Kompasiana, berdenting notifikasi IDN Times di pojok kanan PC penulis. Ini merupakan notifikasi tentang resensi film Senyap dan Jagal yang mendapat seabrek-abrek penghargaan di ajang perfilman internasional.
Judul notifikasi ini cukup menggigit yaitu "Senyap" & "Jagal": Film Tentang PKI yang Tak Diputar Seperti G30S/PKI. Judul ini mengingatkan penulis dengan film yang serupa yang diedarkan di tahun 1980an. Judulnya sekitar "Living Dangerously," persisnya adalah "The Year of Living Dangerously," dan dibintangi oleh aktor papan atas Hollywood, Mel Gibson.Â
Kedua film ini masing-masing mengisahkan sisi lain dari peristiwa berdarah tahun 1965 tersebut. Sisi lain dari apa yang umumnya banyak kita dengar tentang peristiwa G 30 S PKI.Â
Menurut masing-masing film tersebut, ini merupakan kisah tragedi kemanusiaan. Orang-orang yang diduga dan atau masuk dalam daftar pemerintah sebagai orang-orang PKI dianiaya, disiksa  dan dijagal oleh orang-orang dan/atau kelompok LSM. Para jagal tersebut menurut banyak versi didukung dan/atau digerakan oleh militer Indonesia.
Ini mengusik kembali ingatan penulis pada obrolan santai sekitar tahun 1978 - 1980. Obrolan santai sesama pegawai baru di Kementerian Keuangan RI dan obrolan santai dengan temen sebelah kamar di Kostan Percetakan Negara, Jakarta Pusat.Â
Entah bagaimana penulis bercerita tentang pengalaman pada peristiwa PRRI di Sumatera Selatan. Pengalaman mendengar banyaknya rakyat yang terbunuh, melihat pertempuran di Sungai Musi, dan melihat mayat-mayat hanyut mengapung di Sungai Musi. Penulis waktu itu baru berumur enam tahun.
Keluarga menjadi trauma dengan kejadian-kejadian yang sangat mengerikan itu itu. Kami bersegera eksodus dari desa menuju pinggiran kota Palembang. Jalur yang tersedia waktu itu hanya lewat sungai yang dalam keadaan normal ditempuh sekitar delapan jam dengan motor sungai klotok. Namun, motor klotok yang kami tumpangi dihentikan oleh tentara nasional di Desa Teluk Kijing dengan alasan keamanan dan kami dengan ratusan pengungsi yang ada di klotok-klotok air yang lain dan terapung-apung di desa itu sekitar tiga bulan.Â
Karena baru berumur enam tahun saya mungkin tidak merasakan kesengsaraan sebagai manusia perahu itu. Mungkin bahkan tambah gembira karena bermain seharian tanpa perlu sekolah dan membantu pekerjaan orang tua. Namun, saya masih ingat bahwa kakak saya, yang lebih tua tiga tahun, Â sering diajak bercanda oleh TNI yang bertugas di desa itu. Kakak saya itu sering dipanggil... Alvian.. yan.. yan.. ke sini yuk.. yan ini ada kue.. dan yan tolong beliin rokok ya.. kira-kira begitu terdengarnya.Â
Kolega kantor itu yang berasal dari Kabupaten Bojonegoro, Jatim membagikan kisah pembunuhan orang-orang PKI di sana. Memurutnya mayat-mayat orang-orang yang mendapat stempel PKI mengapung di Bengawan Solo. Keluarga mereka sendiri aman karena berada di Kampung Kauman (Semuanya orang Islam) tetapi ada keluarga lain yang sempat diculik karena dicap sebagai PKI tetapi untung ada keluarga lain yang menyelamatkan.
Namun, sedikit tragis kisah yang disampaikan oleh temen indekost. Temen penulis ini orang Madiun dan mengatakan terjadi pembantaian besar-besaran di Madiun di tahun 1965 itu. Orang-orang yang dibantai tersebut, masih menurut temen indekost penulis, bahkan menurutnya termasuk anak-anak dan perempuan dari keluarga yang mendapat cap dan/atau dikenal sebagai anggota/simpatisan PKI dan/atau organisasi lain yang berafiliasi.Â
Dilanjutkannya, bahwa para jagal tersebut digerakan dan/atau didukung oleh tentara. Jagal tersebut bukan pereman kere Sumatera Utara seperti dalam film Senyap, yang dibuat oleh sineas kondang asal Amerika Serikat, Joshua Oppenheimer, tetapi dari sayap organisasi Islam terbesar ketika itu. Saya tidak ingat persis nama LSM yang dikatakannya itu tetapi rasanya ia menyebut nama seperti Banser Ansor NU.Â
Kisah tentang Bengawan Solo dan Madiun itu banyak miripnya dengan Film Mel Gibson, Living Dangerously itu. Film yang mengambil lokasi shooting di Filipina ini juga berlatar belakang tragedi pembantaian orang-orang yang diduga dan/atau mendapat stiker PKI di beberapa wilayah Jawa Tengah/Timur.