Gegap gempita sambutan atas telah diumumkannya ibu kota baru Indonesia. Hampir, jika tidak seluruhnya, semua media cetak dan media online menyajikan head lines atas keputusan yang sangat revolusioner ini. Berseliweran postingan di berbagai Sosmed termasuk di WA Grup Asosiasi Peneliti Indonesia (Himpenindo).
Di WA grup itu ada postingan yang berjudul "Naypyidaw: A mirror for Indonesia's New Capital." Artikel yang ditulis oleh Truston Jianheng Yu tayang di Jakarta Post membuat analisis komparatif tentang perpindahan beberapa Ibu Kota Negara (IKN). Empat IKN baru yang juga diangkat dalam artikel ini yaitu Kuala Lumpur pindah ke Putrajaya, Yangon (Myanmar) pindah ke Naypyidaw, Washington D.C. USA serta Canberra Australia.
Washington D.C. dan Canberra dianggap berhasil oleh penulis ini. Ini dinyatakan dengan pendapat:
Like Washington DC and Canberra, the new capital can become a hub of research and knowledge, allowing for rigorous policy discourse and the training of future bureaucratsÂ
Tidak ada komen lebih lanjut tentang Putrajaya dalam artikel ini. Sedangkan komen untuk IKN baru Myanmar, Naypyidaw, beraura negatif. Â Komen negatif tersebut adalah:
Most relocated capital cities are planned cities - Naypyidaw is one of them, and characterized by many as one of the less successful examples
Kurang berhasilnya Naypyidaw sebagai IKN baru Myanmar menurut penulis ini karena orang-orang enggan dan/atau tidak betah untuk berkunjung apalagi menetap disini. Ini bukan disebabkan oleh karena kurang baiknya dan/atau kurang tersedianya infrastruktur. Dilaporkan dalam artikel ini:
With a total area almost 7 times of Singapore, Naypyidaw boasts 20-lane highways, spectacular pagodas and four golf courses - yet its population is less than one-fifth of Singapore. Transportation infrastructure, malls, restaurants and other facilities are in place, yet Naypyidaw seem to have a problem in attracting residents.
Dilaporkan juga di artikel ini tentang perilaku anggota DPR yang terbang dari Yangon untuk menghadiri rapat Dewan, bermalam di Naypyidaw dan kemudian kembali ke Yangon. Hal yang serupa juga berlaku bagi komunitas internasional seperti Foreign Aid Workers (Bank Dunia/IMF, dll). Secara eksplisit ditulis dalam artikel ini:
The same for foreign aid workers, who would rather do multiple commutes a week than settling down in Naypyidaw. It is as if the country has put in large investments to make people move, yet everyone would rather stay in Yangon and do long commutes to the "ghost city".Â
Pelajaran dari Myanmar ini sangat berharga. Ini sangat berharga karena kondisi di Myanmar itu banyak miripnya dengan kondisi birokrasi Indonesia. ASN/Pejabat Negara kita yang ditugaskan di daerah umumnya tidak membawa keluarga. Anak isteri tetap ada di Jawa (Jabodetabek) dan mereka itu jadi Bulok (Bujang Lokal) selama lima hari, Jumat sore pulang ke Jakarta dan Senin pagi kembali lagi ke daerah.
Patut juga diperhatikan hasil survei dari Indonesia Development Monitoring (IDM). Â Hasil survei ini dilaporkan oleh Kompasianer Rustan Ibnu Abbas yang tayang dengan artikel berjudul "Memahami Kegalauan ASN Pindah ke Ibu Kota Baru."
Menurut survei ini 94,7 persen ASN menolak ibu kota dan pusat pemerintahan dipindahkan ke Kalimantan. Alasan penolakan mereka  93,7 persen menyatakan khawatir dengan fasilitas kesehatan dan pendidikan anak yang kurang bermutu, 92,6 persen ASN menyatakan gaji dan pendapatan mereka tidak akan mencukupi biaya hidup mereka di ibu kota baru. Lebih jauh lagi, 78,3 persen akan mengajukan pensiun dini dari tugasnya, 19,8 persen akan ikut pindah.
Juga, perlu diperhatikan bahwa pesawat udara Jakarta -Kaltim hanya sekitar 1 jam 20 menit. Ada potensi orang-orang internasional dan pebisnis lebih suka menetap/tinggal di Jakarta dan ke PPU/KK, Kaltim hanya satu malam saja.
Jika fenomena ini tidak diantisipasi, maka potensi IKN Indenesia baru yang berlokasi di wilayah kabupaten yang berpenduduk kurang dari 150 ribu orang tinggal selangkah lagi mengikut jejak Naypyidaw menjadi "KotaHantu."