Mohon tunggu...
Kang Mizan
Kang Mizan Mohon Tunggu... Penulis - Pensiunan Peneliti Utama Kementerian Keuangan R.I. email: kangmizan53@gmail.com

Pensiunan Peneliti Utama Kementerian Keuangan R.I.

Selanjutnya

Tutup

Analisis Pilihan

Apakah Proses Pilpres Indonesia Cukup Jurdil?

27 Juni 2019   11:09 Diperbarui: 30 Juni 2019   10:14 230
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gedung Mahkamah Konstitusi Indonesia (Dok: Tribunnews)

Yang menggelitik adalah eksekusi PHK baru dilakukan Pasca Pemilu 17 April 2019. Ini patut diduga untuk menghindari penurunan elektabilitas petahana. Dugaan ini cukup beralasan sebab PT Krakatau Steel Tbk (KRAS) sudah mengalami lilitan utang kronis yang posisi terkini berjumlah 40 triliun rupiah. 

Dalam nuansa yang sama baru terkuak juga, 10 Juni 2019,  bahwa BUMN Karya yang ditugaskan untuk membangun infrastruktur jalan tol dan bandara mengalami kesulitan likuiditas. Ini menurut pengamat kebijakan publik, Agung Pembagio, sebagian bersumber dari muatan kemewahan yang terlalu besar sehingga membebani keuangan BUMN Karya tersebut. Silahkan baca, klik disini,  "Dilema BUMN Membangun Infrastruktur - detikNews."

Lebih seru lagi adalah kasus dugaan korupsi Dirut PT PLN 2011 - 2014, Nur Pamudji, yang tersandung dugaan korupsi pembelian bahan bakar diesel (HSD) untuk generator pembangkit listrik PT PLN. Ini kasus lama sebetulnya, kasus tahun 2010 dan dengan taksiran kerugian negara sebesar 188 miliar rupiah. Yang menggelitik adalah kasus ini baru dibuka kembali oleh Polri setelah Pilpres 17 April 2019 dan setelah PHPU gugatan PrabowoSandi ditolak MK pada tanggal 27 Juni 2019. Lihat, misalnya, CNBC Indonesia, 28 Juni 2019, Mantan Bos PLN Nur Pamudji Ditahan, Ada Tumpukan Uang Rp173 M. Klik disini.

baca juga: Melirik Potret Kronis Korupsi dan Utang BUMN. Klik disini.

Perhatian untuk menciptakan A Level Playing Field diterapkan di banyak negara dengan sistem demokrasi yang sudah baik. Di Australia ini dilakukan dalam kaitan utang negara.  Konstitusi mereka menetapkan bahwa APBN negara Kanguru, yang salah seorang Kompasianer Senior kita bermukim, Pak Tjip, harus berpola lima tahun defisit dan lima tahun berikutnya surplus sesuai dengan siklus Pemilu. Dengan kata lain, jika siklus Pemilu yang sekarang pemerintah boleh menambah utang, maka dalam siklus pemilu yang berikutnya pemerintah perlu membuat anggaran surplus yang berarti bukan saja tidak dimungkinkan untuk nambah utang baru tetapi juga perlu membayar utang-utang pemerintah terdahulu. 

Dalam nuansa yang sama, Kompasianer Almizan53 mengusulkan agar beban bunga dan cicilan pokok utang pemerintah setiap tahun tidak boleh melebih 20% APBN. Disini dikatakan bahwa beban bunga dan cicilan pokok utang negara tersebut untuk tahun 2019 berjumlah sekitar 350 triliun rupiah. Silahkan klik disini, "Rasionalisasi Warisan Utang Negara untuk Anak Cucu."

Lebih jauh lagi, banyak hal yang dapat dilakukan untuk lebih menciptakan Pilpres yang lebih Jurdil. Sebagian cukup merevisi UU tetapi sebagian lagi perlu merevisi UUD45. Misalnya, kebijakan pengendalian jumlah utang negara jatuh tempo tersebut cukup dilakukan dengan merevisi UU Keuangan Negara tetapi kebijakan Presiden RI hanya satu periode perlu merevisi UUD45. 

Akhir kata, penulis mengucapkan Selamat pada Paslon Jokowi-Ma'ruf Amin dengan telah berakhirnya PHPU MK 2019.

Salam Kompasianer!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun