Everyone has the right to take part in the government of his country, directly or through freely chosen representatives (Setiap orang berhak untuk mengambil bagian dalam pemerintahan negerinya, secara langsung atau melalui wakil-wakil yang dipilih dengan bebas). Article 21 The Universal Declaration of Human Right. Semangat HAM PBB tersebut juga sejiwa dengan Pasal 28D ayat (3) UUD1945 , yang menyatakan: Setiap warga negara berhak memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan. Pertanyaan nya sekarang adalah, apakah Negara telah memastikan hak tersebut terpenuhi dengan baik?Â
Jawabannya adalah belum. UU Pemilu kita, misalnya, masih sarat dengan diskriminasi politik dan/atau pelanggaran HAM. Coba kita lihat dulu contoh terkini. Kita nagkat isu UU Pemilu Tahun 2017 yang berisikan pasal diskriminatif. Pasal 240 (1) (k) menyatakan:
Bakal calon anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota adalah Warga Negara Indonesia dan harus.....mengundurkan diri sebagai kepala daerah, wakil kepala daerah, aparatur sipil negara, anggota Tentara Nasional Indonesia, anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia, direksi, komisaris, dewan pengawas dan kar5rawan pada badan usaha milik negara dan/atau badan usaha milik daerah, atau badan lain yang anggarannya bersumber dari keuangan negara, yang dinyatakan dengan surat pengunduran diri yang tidak dapat ditarik kembali.Â
Pasal ini tidak mewajibkan menteri kabinet pemerintahan untuk mengundurkan diri. Kewajiban mundur sebagai pejabat negara hanya berlaku untuk: (i) kepala/wakil kepala daerah; (ii) aparatur sipil negara; (iii) anggota TNI/Polri; (iv) direksi/komisaris/dewan pengawas/karyawan BUMN, dan (v) badan/lembaga negara lainnya.Â
Bukankah Pasal 240 (1) (k) tersebut jelas-jelas bersifat diskriminatif dan melanggar UUD45 dan Deklarasi HAM PBB?Â
Diskriminasi merujuk kepada perlakuan yang tidak adil terhadap individu tertentu. Ketika seseorang diperlakukan secara tidak adil karena karakteristik suku, antar golongan, kelamin, ras, agama dan kepercayaan, aliran politik, kondisi fisik atau karateristik lain, maka disaat itu pula tindakan diskriminasi sedang dipertontonkan ( Wikipedia). UU Pemilu tersebut yang mensyaratkan calon anggota DPR yang termasuk dalam kategori Pasal 240 (1) (k) tersebut harus mengundurkan diri tetapi mengecualikan kategori Menteri Kabinet Pemerintahan, jelas merupakan bentuk diskriminasi terhadap hak politik warga Negara. Lebih miris lagi, tindakan diskriminasi ini justru dilakukan oleh Negara (Pemerintah + DPR), pihak yang seharusnya bertanggung jawab untuk memastikan hak tersebut terpenuhi.Â
Caleg DPR 2019 Berasal dari Menteri Kabinet JokowiJK
1. Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan. Puan Maharani. PDIP. Berhasil melaju ke Senayan
2. Menteri Pemuda dan Olahraga Imam Nahrawi. PKB. Kemungkinan gagal melaju ke Senayan
3. Menteri Ketenagakerjaan Hanif Dhakiri.PKB. Kemungkinan gagal melaju ke Senayan
4. Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin. PPP. Kemungkinan gagal melaju ke Senayan
5. Menteri Desa Eko Putro Sandjojo (PKB), Kemungkinan gagal melaju ke Senayan, danÂ
6. Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly. PDIP. Sumut 1. Berhasil melaju ke Senayan
Dampak Politik
Pembatasan hak politik dalam PKPU No. 20/2018  yang merupakan pelaksanaan dari UU Pemilihan Umum Tahun 2017 , tentu saja mengandung konsekuensi terhadap hak partisipasi politik warga Negara. Ini mencakup, tetapi tidak terbatas pada, penyelenggaraan pemilihan umum anggota DPR, DPRD, dan DPD 2019 menjadi cacat dalam makna “esensi demokrasi“. Pelanggaran esensi demokrasi karena prinsip pelaksanaan pemilihan umum yang jujur, adil, bebas, dan partisipatif,  dan berdasarkan kehendak Rakyat, tidak terpenuhi. Ketentuan perundang-undangan ini mengebiri hak dasar masyarakat untuk memilih dan dipilih, tanpa adanya pembatasan
Kelompok Yang Paling Dirugikan.
Kelompok ASN (Aparatur Sipil Negara) yang paling dirugikan oleh ketentuan UU Pemilu dan PKPU termaksud adalah: (i) guru; (ii) dosen; (iii) pejabat fungsional seperti peneliti dan Widyaiswara serta tenaga analis. Mereka sebetulnya memiliki fleksibilitas kerja yang memungkinkan untuk ikut dalam kontestasi Pileg itu tanpa mengganggu tugas-tugas sebagai ASN. So, kenapa perlu mundur?
Penulis yakin banyak juga pihak yang dirugikan dari unsur TNI/Polri dan BUMN. Namun, penulis tidak dapat merinci lebih jauh.