Mohon tunggu...
Kang Mizan
Kang Mizan Mohon Tunggu... Penulis - Pensiunan Peneliti Utama Kementerian Keuangan R.I. email: kangmizan53@gmail.com

Pensiunan Peneliti Utama Kementerian Keuangan R.I.

Selanjutnya

Tutup

Analisis Pilihan

Kecurangan Pemilu dan Amien Rais's People Power

10 April 2019   21:04 Diperbarui: 11 April 2019   09:34 133
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: Republika.com

Tekanan untuk berbuat curang juga muncul bagi banyak partai baru untuk memenuhi Parliamentary Threshold (PT) 4%. Perlu suara sekitar lima juta suara untuk memenuhi itu. Jika rerata "biaya" per suara jika dikumpulkan "langsung" dari pemilih adalah Rp300 ribu, maka diperlukan uang sebesar Rp1,5 triliun untuk lolos PT. Tunggu itu belum cukup, ada 800 ribu TPS seluruh Indonesia. Jika biaya saksi per TPS adalah  Rp300 ribu, maka diperlukan uang sebesar Rp240 miliar untuk saksi TPS saja. Saksi di Kecamatan? Kabupaten? Provinsi? dan Pusat? dengan demikian biaya untuk lolos PT adalah sekitar Rp2.0 triliun.

Tekanan Parpol baru untuk mencari biaya yang lebih rendah jelas sangat mungkin sekali. Peluang yang paling mungkin adalah "membeli" suara di Penyelenggara Pemilu. Itu bisa di tingkat terendah, TPS, dan bisa juga sampai di tingkat atas KPU Pusat.

Kenapa potensi celah kecurangan ini layak diperhatikan?

Potensi itu terbuka lebar karena keamanan bisnis proses rekapitulasi suara hanya bertumpu pada para saksi. Hanya bertumpu pada saksi mulai dari saksi TPS, saksi di PPK Kecamatan, hingga saksi di KPU Pusat. Jenjang KPU yang lebih tinggi tidak melakukan validasi, pencocokan, lagi atas hasil rekapitulasi suara dari jenjang KPU yang lebih bawah. Misal, KPU Kabupaten tidak melakukan validasi atas rekap yang dibuat oleh KPU Kecamatan, dan, KPU Kecamatan (PPK) tidak melakukan validasi atas rekap yang dibuat oleh Petugas TPS/KPPS.

PPK hanya melihat apakah Rekap TPS (C1 Hologram) sudah/belum  ditandatangani oleh saksi-saksi dan petugas TPS yang cukup dan benar. Jika itu sudah dilakukan, maka PPK dan saksi-saksi terkait bisa melakukan Rekapitulasi suara desa (Formulir DAA1). Selanjutnya, petugas KPU Kabupaten juga hanya memperhatikan tanda tangan saksi-saksi dan petugas PPK (Formulir DA1). Jika ini sudah terpenuhi, maka mereka lanjut mengerjakan Rekap Kabupaten. Pola ini terus berlanjut di KPU Provinsi dan KPU Pusat Jakarta.

Dengan demikian, jika terjadi persengkongkolan para saksi dengan petugas TPS/KPPS hampir mustahil dideteksi oleh PPK Kecamatan. Selanjutnya, jika terjadi persengkongkolan para saksi dengan Tim PPK Kecamatan, maka hampir mustahil itu dapat dideteksi oleh Tim KPU Kebupaten. Dan seterusnya dan seterusnya hingga ke KPU Pusat Jalan Imam Bonjol No. 29 Jakarta Pusat.

Potensi jual beli suara di para penyelenggara Pemilu itu berulang kali Penulis posting baik sebagai artikel penulis sendiri maupun sebagai tanggapan pada artikel Kompasianer lain yang terkait.  Sejauh ini belum ada yang menyanggahnya.

Sebagai referensi, silahkan berkunjung ke "Urgensi Digitalisasi Pemilu Indonesia," dan/atau "Paradoks Jokowi 4.0 dan Dedigitalisasi Pemilu 2019."

Selamat membaca dan semoga bermanfaat.

N.B. ini akun sementara Almizan Ulfa. Akun ini gagal login karena, kelihatannya, link login Kompasiana dengan Facebook terputus. Penulis masih menunggu bantuan Tim Kompasiana untuk perbaikannya. Terima kasih

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun