Predikat kredibilitas lembaga survei umumnya lebih dikenal publik. LSI, misalnya,dapat kita katakan dengan kredibilitas baik. Ini terutama bersumber dari hasil quick count yang relatif tidak berbeda dengan hasil real count. Walaupun demikian, dari sisi yang lebih teknis terutama di kalangan peneliti sosial dan humaniora, tingkat kredibilitas LSI dan umumnya lembaga survei politik di Indonesia yang lain, adalah tidak begitu baik. Kenapa? Ini antara lain disebabkan mereka (termasuk LSI) tidak melaporkan bahwa terdapat peluang, walaupun kecil, hasil real count berada di luar interval margin of error yang mereka hitung. Misalnya, estimasi interval real count menurut perhitungan mereka adalah 51% hingga 53%. Interval ini, secara statistik adalah tidak mutlak sebab hanya merupakan estimasi. Dapat saja, real count menjadi, misalnya, 49% atau 55%, yang lagi-lagi peluangnya relatif kecil dan juga jika sampling yang dilakukan sesuai dengan standar baku sampling dan tidak ada bias personal dan/atau kelembagaan. Relatif rendahnya kredibilitas lembaga-lembaga survei tersebut juga bersumber dari tidak disediakannya Full Report mereka yang dapat diakses oleh publik.
Yang menarik, tadi pagi ada berita Kompas tentang kriminalisasi lembaga survei. Beberapa LSM melaporkan beberapa lembaga survei, yang kalau tidak salah, yang melaporkan kemenangan Prabowo Hatta untuk Quick Count mereka. Mereka melaporkannya ke Mabes Polri, kalau tidak salah, bahwa beberapa lembaga survei itu melakukan kebohongan publik. Tindakan ini menurut ogut terlalu berlebihan. Tidak ada satu orang pun dan atau satu lembaga pun, secara prinsip, yang dapat mendikte penggunaan suatu metodologi oleh suatu lembaga survei. Jika ada suatu lembaga survei yang menggunakan metodologi di luar dari standar umum yang digunakan di kalangan peneliti sosial dan humaniora, maka itu tanggung jawab lembaga survei itu sendiri. Masyarakat yang lebih berhak untuk menentukan tingkat kredibilitas hasil kajian (hasil estimasi) mereka. Saya akan menjadi takjub (amazed) jika ini kemudian benar-benar menjadi isu kriminalisasi.
Mmm…mm…..mm…… ogut jadi ingat kasus Arswendo Atmowiloto di tahun 1980an atau 1990an? Mas Arswendo di penjara karena merilis hasil survei yang antara lain menempatkan Pak Harto dan Nabi Muhammad S.A.W bukan dalam urutan teratas. Rasa-rasanya, yang gini-gini tidak akan terjadi di era reformasi sekarang. Semogah!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H