Tadinya saya termasuk orang yang sangat berharap mantan Walikota Solo ini dapat mengantarkan Indonesia menjadi negara yang hebat. Namun, harapan menjelmanya Beliau sekelas dengan Mahathir Mohammad (Malaysia) semakin hari semakin menipis. Harapan itu kini hampir musnah, jika masih ada, karena Indonesia terbelit banyak masalah dan sedang terjun bebas kearah resesi ekonomi.
Apa yang salah dengan Beliau? Tidak ada saya kira. Saya masih tetap percaya akan keuletan, kecerdasan, kejujuran dan idealisme nya. Yang salah menurut saya adalah lingkungannya. Lingkungan demokrasi kita tidak begitu pas dengan orang baik dan jujur seperti Ir. Joko Widodo ini. Tepat jika kita katakan “a right man in the wrong settings.”
Idola kita ini bukan ketua partai. Beliau juga kelihatannya tidak dalam posisi in command baik untuk PDIP sendiri maupun untuk KIH. Lebih jauh lagi, KIH di DPR RI tidak berada dalam posisi mayoritas. Perlu kompromi banyak dengan KMP untuk selamat.
Settings seperti inilah yang menyebabkan orang yang semula kita harapkan merupakan reinkarnasi tokoh legendaris Bengawan Solo, Joko Tingkir, ternyata terpaksa menjadi Joko Mungkir. Banyak sekali janji kampanye yang dimungkiri. Ini pelajaran yang sangat berharga bagi perjalanan demokrasi kita. Yang begini-begini harus tidak terulang lagi.
Presiden terpilih haruslah orang kuat. Orang ini harus orang yang menjadi komandan partainya sendiri, atau, minimal, yang dapat menjadi komandan koalisi partainya.
Di banyak negara dibuat pengaturan yang sedemikiian rupa sehingga presiden terpilih pasti orang yang menguasai partainya. Dibuat pengaturan sehingga palemen bukan saja sulit sekali untuk menekan presiden tetapi juga bahkan hampir mustahil untuk menjatuhkannya.
Di Australia, dengan sistem parlementer, ketua partai pemenang pemilu legislatif otomatis akan menjadi perdana menteri. Hal yang persis sama juga berlaku di Jepang yang juga mengadopsi sistem parlementer.
Di Amerika Serikat, pemilihan presiden dilakukan secara tidak langsung. Presiden diplih oleh para elector yang hampir seluruhnya adalah caleg yang baru saja terpilih dalam pemilu raya disana. Caleg ini sebelumnya perlu deklarasi Capres mana yang akan dipilihnya jika kelak ia terpilih menjadi anggota kongres AS. Pemilihan presiden AS itu juga dilakukan secara terbuka dalam artian siapa yang dipilih oleh para elector tersebut terbuka bagi publik.
Mendesak untuk melakukan reformasi Pileg dan Pilpres sehingga Syndrom Jokowi tidak terulang lagi.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI