Mohon tunggu...
Almizan Ulfa
Almizan Ulfa Mohon Tunggu... Pensiunan Peneliti Utama Kementerian Keuangan RI -

Just do it. kunjungi blog sharing and trusting bogorbersemangat.com, dan, http://sirc.web.id, email: alulfa@gmail.com, matarakyat869@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Apa Mungkin Wewenang Hakim MK Dipangkas?

3 Februari 2017   09:48 Diperbarui: 3 Februari 2017   10:02 538
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: mahkamahagung.go.id

Kasus ditangkapnya Hakim Mahkamah Konstitusi (MK) Patrialis Akbar menambah panjangnya daftar korupsi pejabat tinggi negara Indonesia. Hakim Konstitusi Patrialis Akbar yang terjerat Operasi Tangkap Tangan (OTT) KPK didakwa menerima suap untuk memuluskan perubahan dan/atau pembatalan UU Peternakan dan Kesehatan Hewan Tahun 2014 [AU1] . Sebelumnya, Ketua MK merangkap Hakim Konstitusi M. Akil Mochtar divonis pengadilan dengan hukuman penjara seumur hidup dan hak politiknya dicabut.

Hakim Konstitusi M. Akil Mochtar. (tempo.co)
Hakim Konstitusi M. Akil Mochtar. (tempo.co)
Kredibilitas MK ambruk. Muncul persepsi publik bahwa itu yang ketangkap saja. Tidak tertutup kemungkinan masih banyak hakim konstitusi yang lain yang juga terlibat berbagai tindak pidana korupsi dan penyelewengan tetapi berasil lolos dari jeratan hukum.

Revolusi tata kelola Mahkamah Konstitusi mendesak untuk dilakukan. Keteguhan iman dan agama jelas sangat dibutuhkan oleh Hakim Konstitusi. Wacana untuk memperbaiki proses rekrutmen hakim konstitusi agar lebih transparans, akuntabel dan terlepas dari pengaruh politik, juga merupakan wacana yang baik.. Revisi kode etik dan tata kelola Dewan Etik MK juga memang penting untuk dilakukan.

Namun, itu saja terbukti tidak cukup. Biang keroknya ternyata adalah kekuasaan MK yang luar biasa besarnya. Sembilan Hakim Konstitusi dapat membatalkan UU yang dibuat oleh lebih dari 500 orang anggota DPR dan oleh banyak sekali staf dan tenaga ahli pemerintah. Konstelasi pengelolaan negara yang Luar biasa buruknya. Dan, konstelasi sistem yang demikian terbukti menggoyahkan iman dan ketaqwaan sebagian Hakim MK termasuk dua orang hakim konstitusi itu.

Kekuasaan yang luar biasa besarnya itu juga berpotensi menghasilkan keputusan MK yang tidak baik, atau, bahkan lebih dahsyat lagi merusak rambu-rambu hukum serta kehidupan bernegara dan bermasyarakat. Misal, Pembatalan UU Migas tahun 2001 yang ditetapkan oleh MK di tahun 2012 dianggap hanya lelucon dan menimbulkan pemborosan keuangan negara saja. Sampai saat ini UU Migas baru belum dapat dibuat dan sangat menggagu kepastian hukum dan investasi di sektor MIgas. Hal yang serupa juga menimpa UU Kelistrikan Tahun 2004 dan UU Sumber Daya Air Tahun 2014.

Demi keadilan dan cita-cita Proklamasi dan Reformasi 1998/99, pemangkasan kekuasaan MK mutlak diperlukan. Diperlukan dalam waktu yang secepat-cepatnya dan dalam tahun 2017 ini juga.

Cara cerdik untuk memangkas kekuasaan MK itu adalah mengundang keterlibatan masyarakat luas dalam proses uji materi UU yang digugat ke MK. Itu dapat dilakukan oleh MK dengan membangun dan mengembangkan serta melaksanakan rangkaian kegiatan seperti public debate atau diskusi publik baik secara online maupun secara onvenue dan yang ini adalah kopdar istilah sosmednya. Hasil atau output rangkaian kegiatan itu perlu dibuat oleh MK dalam format ringkasan standar.

Lebih jauh lagi, MK perlu membuka akses untuk publik yang cukup, mudah, dan murah untuk berperan serta dalam semua rangkaian kegiatan yang diselenggarakan oleh MK itu. Diatas kesemua itu, perlu ditetapkan bahwa hasil-hasil dari rangkaian kegiatan tersebut harus dijadikan sebagai sebagian dasar petimbangan hukum keputusan MK.

Wacana lain yang perlu dipertimbangkan adalah revolusi tata kelola hakim konstitusi melalui rekrutmen Panel Hakim Konstitusi dalam jumlah yang besar, misal antara 20 hingga 100 orang. Ketika ada kasus uji materi UU, maka dapat dipilih sembilan orang secara random dari panel hakim konstitusi tersebut. Para anggota Panel itu dapat tidak diberikan gaji dan tunjangan, atau, kalaupun ada cukup seadanya saja. Namun demikian, ketika mereka terpilih untuk mengadili gugatan atas UU mereka perlu diberikan remunerasi yang besar.

Cara ini jelas akan mengurangi secara drastis tendensi oknum (-oknum) hakim konstitusi yang tergoda untuk melakukan penyelewengan dan/atau korupsi. Cara ini juga akan jitu mengawal Hakim Konstitusi ke keputusan yang terbaik yang dapat mensejahterahkan seluruh rakyat Indonesia sesuai amanat Proklamasi, Pancasila dan UUD 1945, serta Reformasi 1998/99.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun