Amien Rais dan Fahri Hamzah, seperti dilansir, misalnya, oleh CNNI, 6 Maret 2019, sama-sama melontarkan potensi kecurangan digital KPU dalam Pilpres 2019. Potensi kecurangan tersebut menurut mereka berdua ini menguntungkan Jokowi-Maruf dan dengan demikian merugikan Prabowo-Sandi.Â
Amien bahkan mendesak KPU untuk segera melakukan audit forensik IT KPU dan jika nantinya ditemukan ketidakberesan, maka Prabowo-Sandi akan mundur dari Pilpres 2019 ini.Â
 A name makes news itu quote jurnalist. Amien memang punya nama. Siapa yang tidak mengenal Prof Emiretus ini, yang menurut banyak kalangan a very controversial man lately.
Celetukan Prof Amien ini dipublikasikan oleh banyak media walaupun Dewan Pembina Tim BPN Prabowosandi ini tidak memberikan penjelasan lebih lanjut dan/atau bukti permulaan yang memadai. Â
Desakan Mas Amien ini didukung oleh Fahri Hamzah, DetikNws, 3 Maret 2019, yang juga tokoh nasional kontroverersial. Fahri mendukung Amien karena memiliki bukti ada sekitar 15 juta orang yang terdaftar dalam sistem DPT KPU tetapi tidak valid.
Lha jika data itu memang tidak dan/atau belum valid, maka kenapa langsung ditarik kesimpulan ini memang disengaja oleh KPU untuk menguntungkan Jokowi-Maruf?
Lebih jauh Fahri menuduh tingginya potensi kecurangan digital dalam Pemilu 2019. Apa ya persisnya kecurangan digital itu?
Lebih jauh lagi, Cawapres Sandi juga mendukung desakan Audit Forensik Duo Amien Fahri tersebut. Alasan yang dikemukakan nya adalah untuk menjamin sistem IT KPU tidak diretas atau hacker proof.Â
Maksudnya penulis kira ada pihak luar yang tidak dikenal memiliki kapasitas untuk menjebol sistem IT KPU. Mereka dengan kecanggihan nya dapat mengakses sistem IT KPU dari lokasi yang tidak dikenal (remote system) Â sehingga dapat memanipulasi hasil perolehan suara Pilpres 2019 untuk memenangkan Paslon 01 Jokowi-Maruf.Â
Desakan dan/atau tuduhan potensi kecurangan digital tersebut ditolak oleh KPU seperti dilansir oleh  CNNI, 3 Maret 2019. Disini Komisioner KPU, Wahyu Setiawan menyatakan hasil akhir Pemilu disyahkan berdasarkan verifikasi manual secara berjenjang. Dalam kata-katanya: "Hasil akhir pemilu itu tidak dilakukan berdasarkan teknologi informasi. Jadi hasilnya itu berdasarkan kertas berjenjang dari tingkat TPS, kabupaten, provinsi hingga nasional."
Sepanjang pengalaman dan pemahaman penulis, data entry perolehan suara Pemilu itu hanya dan hanya dilakukan di kecamatan. Data entry itu di input oleh Panitia Pemilihan Kecamatan (PPK) dalam jaringan sistem IT KPU Nasional dengan menggunakan software spread sheet excel.