Di penghujung tahun 2017 yang lalu redaksi Kompasiana mengumumkan blog competition kurasi akhir tahun. Kompasianer yang berminat wajib melakukan review (kurasi) atas lima artikel terbaik versi pribadinya. Kelima artikel itu wajib dalam kategori yang sama.Â
Tertarik dengan tawaran ini, saya mulai melihat-lihat kembali artikel yang saya tayangkan di tahun 2017. Dari sekian banyak artikel termaksud ternyata salah satuya yang terkait dengan isu Freeport Indonesia mendapat klik yang terbanyak. Lebih dari 7.000 klik rasanya. Saya putuskan untuk melakukan kurasi akhir tahun terkait dengan isu PT Freeport Indonesia.Â
Untuk itu dicari tambahan empat  artikel dengan isu yang sama dan dengan kategori yang sama yaitu kategori politik. Pencarian dengan menggunakan jendela mesin pencari Kompasiana, dengan menggunakan kata kunci "freeport indonesia," mendapat jawaban mesin pencari riuh sekali mulai dari yang tayang terakhir di tahun 2017 hingga yang tayang pertama kali di tahun 2011. Ternyata, gonjang ganjing FI sudah berjalan tujuh tahun dan kelihatannya akan berlanjut menjadi delapan tahun di tahun 2018, dan tetap menjadi isu yang up to date bbrapa tahun ke depan.
 Sesuai dengan ketentuan blog competition ini, penulis cukup pilih lima  artikel dalam kategori yang sama dalam tahun 2017 saja. Seperti tersaji pada tabel dibawah ini, ada 10 artikel Kompasiana dengan tema PT Freeport Indonesia di tahun 2017. Kategori yang dipilih penulis sangat  beragam mulai dari politik hingga ke humaniora. Persisnya, ada empat dengan kategori politik, 3 ekonomi, media, regional,  dan humaniora masing-masing satu artikel. Walaupun demikian, isu utama  dari aneka kategori tersebut sebetulnya sama dan hanya satu yaitu kebijakan  pemerintah tentang pertambangan mineral dan implikasi/potensi implikasi  kebijakan tersebut terhadap keuangan negara, ketenagakerjaan, kawasan  Papua utamanya Mimika, dan daya tarik investasi di Indonesia.
Menurut penulis ini hingga bulan Oktober 2017 terdapat 8.300 pekerja (PTFI, Privatisasi, Kontraktor/Sub-Kontraktor) yang melakukan aksi mogok kerja telah dianggap mengundurkan diri dan telah dilakukan pemutusan hubungan kerja secara sepihak oleh perusahaan. Implikasi selanjutnya tentu saja iuran BPJS mereka diputuskan dan oleh karena itu tidak dapat berobat dengan menggunakan kartu BPJS.Â
Diputuskannya pelayanan BPJS untuk pegawai FPI yang sudah diPHKkan itu juga diulas oleh Agung Widiatmoko. Menurutnya bahkan ada diantara mereka yang melakukan bunuh diri. Dalam kata-katanya:
"...sehingga hal ini membuat BPJS tidak bisa memberikan akses layanan kesehatan kepada para karyawan yang melakukan mogok kerja bahkan beberapa diantaranya ada yang melakukan bunuh diri akibat sanksi tersebut."
Isu terhentinya pelayanan BPJS untuk eks pegawai FPI tersebut juga dirilis oleh beberapa media termasuk oleh media online OkezoneFinance. Media online ini merilis berita tersebut pada tanggal 23 Januari 2018. Jurnalist media ini menyampaikan kutipan ucapan Wahyuddin Bagenda yang merupakan Direksi BLU BPJS usai menghadiri rapat terkait kunjungan kerja spesifik Komisi IX DPR RI di Jayapura. Dalam kata-katanya:
"Sebenarnya yang menonaktifkan kepesertaannya (ribuan karyawan mogok) itu adalah Freeport, karena Freeport tidak membayarkan iurannya otomatis ya tidak aktif,"
OkezoneFinance itu juga menambahkan berita tentang kisruh perburuhan di PT FPI ini. Kutipan tulisan yang terkait dengan ini adalah:
"Sebelumnya, status kepesertaan sebanyak 8.300 karyawan PT Freeport Indonesia, kontraktor dan privatisasi dinonaktifkan pada Mei 2017 ketika ribuan karyawan tersebut melakukan aksi mogok kerja akibat kebijakan sepihak manajemen Freeport yang merumahkan karyawannya dengan alasan efisiensi."
Artikel Ronald Wan yang berjudul "Menilai Niat Freeport Indonesia  untuk Melakukan Divestasi Saham," memiliki tingkat keterbacaan yang  terendah dalam kelompok isu freeport Indonesia ini. Artikel yang tayang  pada tanggal 7 Maret 2017 ini hanya mendapat 96 klik. Sebetulnya, ini artikel yang bagus baik dari sisi substansi maupun dari sisi redaksional, menurut  penulis.  Waktu tayangnya saja yang tidak pas. Perhatian media dan  publik belum begitu tinggi di awal-awal tahun 2017.
Selanjutnya, menurut penulis artikel ini ada dua hal utama yang harus diperhatikan oleh Pemerintah. Pertama, harga saham divestasi itu haruslah harga yang wajar. Kedua, prioritas utama pembeli saham divestasi itu adalah pemerintah. Harga yang wajar itu menurutnya adalah dengan mengesampingkan asumsi perpanjangan kontrak FPI hingga tahun 2041. Sebagaimana diketahui kontrak FPI dengan pemerintah Indonesia yang belaku sekarang hanya berlaku hingga tahun 2021. Â