Mohon tunggu...
Almizan Ulfa
Almizan Ulfa Mohon Tunggu... Pensiunan Peneliti Utama Kementerian Keuangan RI -

Just do it. kunjungi blog sharing and trusting bogorbersemangat.com, dan, http://sirc.web.id, email: alulfa@gmail.com, matarakyat869@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

Freeport Mau Di-BUMN-kan? Lihat Dulu Kasus PT Inalum

7 Agustus 2017   14:05 Diperbarui: 7 Agustus 2017   15:50 13314
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Lubang Besar pasca penambangan emas PT FPI. Sumber: Obore dlm Liputan6.com

"Mantan Menteri Keuangan yang saat ini menjabat sebagai Gubernur Bank Indonesia (BI), Agus Martowardoyo, pemerintah telah mengalami kerugian selama 22 tahun sejak proyek kerjasama pengolahan aluminium itu berlangsung sejak 30 tahun lalu."

PT Inalum kembali menjadi sorotan media menjelang berakhirnya kontrak NAA Jepang dengan Pemerintah Indonesia dalam bulan Oktober 2013. NAA wajib divestasi (menjual) seluruh sahamnya (59%) ke Pemerintah RI, dalam hal izin operasinya tidak diperpanjang lagi, tetapi formula harga tidak tersedia dalam Master Agreement (perjanjian Induk) antara Pemerintah RI dengan NAA yang ditandatangani pada tanggal 7 Juli 1975. Hal ini mengakibatkan terjadinya perundingan yang berlarut-larut sejak 2012 hingga 2013. Terakhir pihak NAA menetapkan harga  US$626 juta dan Pemerintah Indonesia menghendaki harga hanya sebesar US$424 juta yang merujuk ke hasil audit BPKP. NAA kemudian mengancam akan membawa sengketa ini ke Badan Arbitrase Internasional tetapi pemerintah lebih memilih jalur perundingan dan akhirnya dicapai kesepakatan harga US$566,65 juta (Rp7,7 triliun) di tahun 2013. Uang pembelian saham 51% persen tersebut dibiayai dengan utang negara. Dengan demikian, total PMN ke PT Inalum hingga tahun 2013 adalah Rp10,357 triliun.

Perlu diingat bahwa bahan baku utama yang digunakan oleh PT Inalum untuk memproduksi aluminium itu adalah alumina. Alumina ini yang diolah dari bauxite belum bisa diproduksi di dalam negeri dan diimpor dari Jepang sejak PT Inalum berdiri, lebih dari 30 tahun yang lalu, hingga saat ini. Banyak yang berpendapat bahwa alasan lain Jepang hengkang dari PT Inalum disebabkan oleh harga alumina yang terus membubung sehingga harga jual aluminium tidak menguntungkan lagi. Walaupun demikian, ada terdengar sekarang ini, PT Inalum mendirikan anak perusahaan yang berpatungan dengan PT Antam untuk memproduksi alumina yang sesuai dengan spesifikasi pabrik peleburan mineral PT Inalum.

Keputusan untuk menjadikan PT Inalum BUMN ke 141 di tahun 2013 tersebut jelas mengandung risiko fiskal yang cukup tinggi. Risiko fiskal tersebut akan menjadi kenyataan jika kedepan PT Inalum tidak dapat menyetor dividen dalam jumlah yang mencukupi. Risiko itu akan bertambah jika pemerintah masih harus menyuntikan kembali dana segar PMN untuk tambahan capital expenditures (belanja modal) yang dibutuhkan. Selain itu, tidak tertutup kemungkinan  pemerintah masih perlu memberikan berbagai perllindungan tarif dan bukan tarif untuk menjaga daya saing perusahaan dari serbuan produk impor yang dapat saja lebih baik dan lebih murah.

Bagaimana nasib PT Inalum di kemudian hari, yang sudah 100 persen dimiliki Indonesia, kita nantikan perkembangannya di tahun-tahun mendatang. Perkembangan tahun pertama setelah kepemilikan Indonesia 100 persen tersebut cukup menggembirakan. PT Inalum menyetor dividen ke negara sebesar Rp1,6 triliun di tahun 2014. Kemudian, kabar tidak begitu baik muncul lagi di tahun 2015 karena di tahun ini PT Inalum kembali tidak dapat menyetor dividen untuk negara. Perkembangan tahun 2016 dan seterusnya masih ditunggu tetapi cukup mencemaskan karena harga minyak dunia dan raw material yang lain termasuk aluminium masih tetap rendah. Selain itu, seperti sudah disampaikan diatas, tidak tertutup kemungkinan dalam waktu dekat pemerintah masih perlu lagi menyuntik dana segar triliunan rupiah ke PT Inalum dalam rangka renovasi dan/atau modernisasi/ekspansi pabrik perusahaan ini. Simulasi sederhana menunjukan bahwa jika PT Inalum, ke depan, dapat menyetor dividen sekitar Rp1,5 triliun per tahun, maka dapat dikatakan bahwa harga yang dibayar pemerintah untuk 59% saham NAA tersebut adalah wajar.

Selain itu, jika sudah disiapkan secara dini, pemerintah sebetulnya tidak perlu membeli sendiri hak saham divestasi tersebut. Pemerintah dapat memerintahkan PT Inalum untuk menjual sahamnya di pasar modal. Biarlah masyarakat umum (publik) yang membelinya yang dengan demikian price discovery dapat terbentuk secara alami. Sudah terbukti Kinerja keuangan BUMN go public seperti PT Antam, Bank Mandiri, Bank BRI, dll jauh lebih baik dari BUMN (Persero) yang tidak go public.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun