Bukti adalah suatu hal yang amat sangat penting dalam dunia hukum dan peradilan. Bukti dapat melepaskan seseorang dari jeratan hukum, sebaliknya bukti juga dapat menjebloskan seseorang ke dalam bilik jeruji besi atas tindakan melawan hukum yang dilakukannya. Penegakan hukum dan keadilan memang tak dapat dilepaskan dari bukti, sehingganya berbicara bukti tentunya adalah ranahnya para ahli hukum. Namun bukan hanya, terimakasih jika ada yang memberitahukan bahwa ada larangan bagi yang bukan ahli hukum untuk berbicara seputar bukti. Sebelum ada yang meberitahu, penulis yang bukan ahli hukum ini ingin membicarakan sedikit perihal bukti. Mohon maaf kepada para ahli hukum, jika tidak pada tempatnya seorang awam yang tak memiliki keilmuan di bidang hukum lalu berbicara tentang bukti.
Sesungguhnya seseorang yang benar-benar tidak melakukan tindakan melawan atau melanggar hukum, tidak perlu khawatir ketika ada pihak yang menduga atau menuduhnya telah melakukan tindakan tsb. Sebab sejatinya tentu tidak ada bukti, atau tuduhan tersebut tentu tidak dapat dibuktikan, karena ia memang tidak melakukannya. Sehingganya ia akan lepas dari tuduhan tsb.
Sebaliknya, seseorang yang benar-benar telah melakukan tindakan melawan atau melanggar hukum semestinyalah tak dapat menghindar dari jeratan hukum ketika bukti-bukti terungkap dengan jelas dan meyakinkan sidang bahwa ialah pelakunya. Bersalah atau tidak sesorang tergantung pada bukti. Namun dapatkah bukti itu selamanya menjadi alat penegak keadilan ?
Terlepas apakah ironi atau tidak, tetapi jadi menarik ketika banyak kasus-kasus besar yang menyeret orang-orang besar dan (sering) melibatkan uang yang besar lalu tidak ada bukti atau kasus tsb tidak dapat dibuktikan secara hukum. Padahal pengakuan-pengakuan saksi, korban bahkan sesama pelaku (dibawah sumpah) jelas-jelas menyebutkan bahwa si A telah melakukan ini dan si B telah merencanakan itu. Tetapi sejauh pengakuan dan atau kesaksian itu tak dapat dibuktikan alias tidak ada bukti, maka si A dan atau si B tidak dapat di jerat hukum. Itulah saktinya bukti. Padahal bukankah (katanya) pengakuan dibawah sumpah dalam persidangan juga merupakan salah satu bukti ?
Ini bukan pikiran negative atau su'udzon, tetapi apa jadinya jika seseorang yang telah berniat melakukan suatu tindakan melawan atau melanggar hukum, lalu ia lebih dahulu mempersiapkan sedemikian rupa (merancang) agar tidak ada bukti atau tindakannya tidak dapat dibuktikan. Bagaimana jika tindakannya menelan korban, apakah korban dapat memperoleh keadilan ketika keadilan yang akan ditegakkan hanya tergantung pada bukti, sementara pelaku telah "melenyapkan" semua bukti ? Lebih buruk lagi ketika aparat yang bertugas untuk mencari bukti dan membuktikan malah terlibat persekongkolan untuk tidak mengungkap bukti, karena adanya kepentingan tertentu. Cukup dengan satu kalimat, "Tidak Ada Bukti !", maka selesai lah urusan.
Contoh-contoh berikut bukan dimaksudkan untuk menuduh atau memvonis bahwa benar telah terjadi pelanggaran pada kasus dimaksud lalu dinyatakan tidak ada bukti, melainkan hanya sekedar gambaran betapa alat bukti menjadi sesuatu yang sangat "sakti". Sakti dalam arti dapat menjadi penentu nasib seseorang yang sedang berurusan dengan hukum, pada saat yang sama juga jadi penentu nasib seseorang lainnya yang sedang mencari keadilan.
Misalnya pada berita Polri: Tak Ada Bukti Korupsi Pajak Gayus. "Kalau tidak ada bukti, bagaimana kita menyatakan kejadian suap itu terjadi," demikian salah satu kutipan dalam artikel tsb. Sementara pada bagian akhir disebutkan bahwa, seperti diberitakan, Gayus memiliki harta setidaknya Rp 100 miliar dalam bentuk uang tunai dan batangan logam mulia. Harta yang tersipan di berbagai rekening dan safety box itu diduga hasil tindak pidana selama bekerja di Ditjen Pajak. Di pengadilan, Gayus berkali-kali sudah mengaku menerima suap dari tiga perusahaan di bawah Grup Bakrie, yakni PT Bumi Resources, PT Arutmin, dan PT Kaltim Prima Coal, saat mengurus masalah pajak
Media online lainnya memuat Darmono: Tak Ada Bukti Keterlibatan Cirus. Kejaksaan Agung bersikukuh jika anggotanya Cirus Sinaga tidak terlibat dalam kasus mafia pajak. "Tidak diperoleh bukti peranan atau keterlibatan jaksa dari sisi pidana yang terkait di bidang itu," ucap pelaksana tugas Jaksa Agung Darmono, sebagaimana dikutip Liputan6.Com.
Terakhir Kompas Cetak memuat berita tentang intimidasi oleh kelurahan kepada stafnya. Bachtiar Rivai (35) diberhentikan sebagai anggota staf Kelurahan Paku Alam, Kecamatan Serpong, tiga hari setelah bersaksi di Mahkamah Konstitusi (MK) atas gugatan perkara kecurangan dalam Pikada Tangerang Selatan, 30 November lalu.
Setelah mendapat perintah lisan untuk tidak bekerja, Bachtiar memilih tinggal di rumah. "Ini hari kedua saya enggak masuk kerja karena sudah diberhentikan sejak Senin lalu. Saya terpaksa bergantung lagi soal makan dan susu buat anak dan istri kepada ayah," kata Bachtiar. Namun, Lurah Paku Alam Sulaeman kembali membantah bahwa dirinya telah memecat Bachtiar. "Saya tidak memecat dia. Tidak ada bukti pemecatan atas dirinya. Dia saja yang tidak mau masuk kerja," kata Sulaeman, seperti dimuat Kompas Cetak.
Lagi-lagi, Tidak Ada Bukti !