Mohon tunggu...
Alfitriandes Miter
Alfitriandes Miter Mohon Tunggu... karyawan swasta -

Suka mencoba sesuatu yg kira-kira berguna. Selama ini hanya membaca, membaca dan ... membaca. Ngga tau juga apakah ini waktunya menulis, coba dulu aja. Siapa tau b.e.r.g.u.n.a.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Aku Mau Hidup 1000 Tahun Lagi

23 Januari 2010   08:00 Diperbarui: 26 Juni 2015   18:18 1217
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

"Dan aku akan lebih tak perduli. Aku mau hidup seribu tahun lagi..., " Siapa anak Indonesia yang tak kenal kalimat ini, bahkan mungkin ratusan, ribuan atau jutaan di antaranya hafal kalimat-kalimat sebelumnya. Karena sejak pertama kalimat itu dituliskan hampir 67 tahun yang lalu, telah jutaan kali pula ditulis ulang, diucapkan, diteriakan bahkan dilombakan. Yups, anda benar. Maret 1943, seorang penyair muda Indonesia yang kemudian menjadi salah satu sastrawan besar milik bangsa ini, Chairil Anwar menorehkan karya puisinya yang diberi judul singkat, padat, "AKU".

Hari ini, Sabtu (23/01) untuk ke sejuta sekian kalinya, puluhan anak-anak SD kembali bergantian membacakan AKU pada "Lomba Baca Puisi Tingkat SD Se-Jabodetabek" yang diselenggarakan oleh Universal Osis SMP Al-Azhar BSD. Mengambil tempat di Lt Dasar Plaza BSD, Serpong, Tangsel, lomba berjalan lancar dan diikuti oleh puluhan Sekolah Dasar di Jabodetabek. Karena (mungkin) sibuk semua, tak satupun panitia yang dapat dimintai keterangannya seputarnya lomba dimaksud, dalam rangka apa diadakan, tujuan apa dan harapan apa yg hendak dicapai dengan menggelar acara ini. Apalagi anggota dewan juri yang sejak awal sudah disebutkan bahwa mereka tak diperbolehkan berhubungan dengan pihak-pihak selain penyelenggara (tentu maksudnya Panitia) sampai hasil lomba selesai diumumkan. Hhmm..., padahal reportase ini ditulis ketika sedang jeda menunggu hasil lomba tsb. Tapi kalaupun (misal) tiba-tiba saya nekat menghampiri salah satu dari mereka, "Maaf pak, bu, boleh minta waktu sebentar, nggg..boleh kita bincang-bincang sebentar?" Ato,"..ngng, boleh ngobrol sedikit tentang lomba..? Apa,"..ngg sy mau tanya-tanya sekitar lomba..?". Mungkin dia pikir, "... emang siapa loe??". Ato,"... anda dari mana ya??" "Maaf media anda apa ??" dan sederetan pertanyaan lainnya yg meyeledik dan bermakna menolak. Tapi itu mungkin lho. Tapi kalopun itu terjadi, mungkin juga dalam hati saya akan berpikir, "halaaah.., mentang saya ngga pake tanda pengenal pers. Coba didada baju kaus yang pakai ada logo salah satu stasiun tv, atau di topi yang menutupi kepala saya ada lambang sebuah media cetak ato radio...," dan terus berandai-andai. Lalu muncul pertanyaan, "apa perlu saya pake tanda pengenal Kompasianer ? Hehe, keren juga kali ya, kalo di leher saya tergantung kartu bertuliskan Press-Kompasiana. Wow... Keren !!

Terlepas dari latar belakang dan goal acara ini, yang menarik perhatian saya adalah tingginya semangat anak-anak dan adanya keberanian untuk tampil. Mereka sepertinya tak kenal istilah demam panggung, juga tak satupun dari mereka yang tampil terlihat gentar apalagi grogi. Mereka juga tak perduli dengan perbedaan yang ada di antara mereka. Bayangkan anak-anak yang jumlahnya puluhan, datang dari kampung dan sekolah yang berbeda, penampilan berbeda, serta gaya dan teriakan yang berbeda, padahal kebanyakan mereka membacakan puisi yang sama. Tak dipungkiri memang banyak yang kelihatan berbakat dan sudah pernah tampil, tapi tak jurang juga yang kadang mengundang tawa segar para pengunjung,... namanya juga anak-anak, yang penting PeDe.

"Tak perlu sedu sedan itu, Aku ini binatang jalang... !!!" Bahkan riuh gemuruh tepuk tangan penonton ketika seorang peserta mengucapkan Assalamu'alaikum tanda ia telah selsai, tak membuat peserta berikutnya 'ciut' meski beberapa penonton di bagian depan sudah tertawa ketika baru saja ia mau menggapai alat pengeras suara, pertanda ada tingkahnya yang tidak umum. Tapi ya, cuek aja !. Sekali lagi, itulah anak-anak. Ia tetap lancar menyelesaikan gilirannya, dan tepuk tanganpun tak kalah riuhnya. Entah karena performanya yang memang tak kalah dari peserta sebelumnya, entah karena "cuek" nya yang membuat ia berhasil melewati masa tugasnya di atas panggung.

"Terserah penampilan mu pakai topi dan dasi, saya cukup pakai celana pendek. Aku ya aku, kamu ya kamu".

"Biar aja kamu pake bawa-bawa maik (microphone) sambil jalan ke sana ke mari, aku cukup berdiri di sini. Kamu ya kamu, aku ya aku".

"Biarin dia pikir dia bagus, yang menang bisa aja saya. Kalo dia, ya ngga apa-apa. Berarti dia memang lebih baik dari saya. Pokoknya saya tampil begini, gayaku seperti ini, gewe lebih pede tampil begini...".

Demikian seolah-olah prinsip yang tak sempat mereka ucapkan, namun saya dapat mendengarnya. Dan saya menyukainya. Meskimasih kecil-kecil, masih usia dini, tapi mereke sudah miliki semuanya : patuh pada guru, berani tampil, percaya diri luar biasa, mengerti perbedaan, siap kalah, siap menang. Teruslah..., akan lebih tak peduli dengan perbedaan, teruslah akan hidup . . . 1000 tahun lagi.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun