Tadinya penulis mau posting komentar saja pada tulisan Pak JK Pemerintah Jangan Utamakan Bangsa Lain.. dan sudah mulai mengetik di kolom komentar. Namun ketikannya nggak berhenti-henti dan kata-kata sepertinya terus mengantri untuk dituliskan. Jadilah komentarnya kepanjangan, mau di hapus sebagian, sayang juga. Akhirnya judul baru adalah solusinya, namun tetap penulis sebut sebagai sebuah komentar dan bukan sebuah tanggapan. Sekaligus memecah kebuntuan penulis selama April, tanpa satu judulpun sebelum komentar ini.
Salam hormat Pak JK,
Penulis membaca artikel Pak JK tsb sebagai sebuah kekhawatiran dan kekhawatiran yg sedemikian sudah turun temurun dari zaman doeloe. Apatisnya; bangsa ini sungguh tidak akan pernah berubah, karena setelah sampai puluhan tahun setelah merdeka belum ada tanda-tanda perubahan itu. Yg ada adalah kemajuan-kenajuan semu yg mengekor dari kemajuan bangsa lain dan bangsa ini selalu menjadi konsumen kemajuan tsb. Bangsa ini lebih bangga menjadi pasar dimana bangsa lain menumpahkan barang-barang hasil kemajuannya, kemudian bangsa ini berebut membelinya tanpa berpikir apa urgensi memiliki benda-benda tsb. Yang pasti bangsa lain meraup keuntungan darinya.
Setelah separoh abad lebih merdeka, bangsa ini masih belum sanggup menjadi produsen sebuah kemajuan yg hasilnya dikonsumsi oleh bangsa lain. Doeloe pernah “mulai” ada tanda-tanda kemajuan, ketika Pak Habibie bersama IPTN nya melahirkan CN235, namun tak ada yg sanggup mempertahankan (jangankan memajukan) apa yg telah dirintis oleh salah satu putra terbaik bangsa itu.
Masaalahnya memang tak sederhana, pak JK menulis :
"... yang jadi masalah tinggal dibutuhkan kesadaran dari pemerintah untuk tidak mengulangi yang sama ..." atau "... Seharusnya pemerintah bisa belajar dari itu semua, .."
Saya ingin katakan bahwa kesadaran pemerintah dan kebisaannya belajar tidaklah cukup untuk merubah bangsa ini sehingga dapat memanfaatkan seluruh kekayaan alam (yg pak JK sebutkan diawal tulisan) semaksimal mungkin untuk kesejahteraan rakyatnya.
Masaalahnya besarnya adalah; setelah generasi pemimpin angkatan Bung Karno, Bung Hatta, Syahrir d.k.k, tak pernah adalagi pemimpin bagsa ini yg maju, tampil dan berkorban untuk memikirkan rakyatnya apalagi punya visi kemajuan dan kesejahteraan bagai anak cucu pada 2 atau 3 generasi kemudian. Yg ada adalah pemimpin2 yg memikirkan kelompoknya, partainya, modal kampanyenya minimal pada masa kekuasaannya serta bagaimana agar tetap bertahan di kekuasaan tsb. Sehingga, nyaris pula tidak ada lagi pemimpin yg benar-benar diinginkan oleh rakyatnya. Yang ada hanya calon-calon pemimpin yg menawarkan dirinya kepada rakyat... untuk dipilih.
Jadi ingat pesimisme seorang teman dalam kalimatnya, “…halaah, .. ‘emang ada yang mikirin bangsa ini, mikirin rakyat ? Kalo ada yg mikirin rakyat, gue yakin bangsa ini ngga bakal begini…!? “.
Mohon maaf pak JK, bahwa bpk pernah mengisi sejarah kepemimpinan bangsa ini. Pandangan tadi memang sedikit skeptis dan saya sugguh agak sulit untuk megalamatkannya pada nama-nama pemimpin tertentu, tetapi sungguh bukan pula saya alamatkan kepada Pak JK secara pribadi. Karena pemimpin yang saya maksud adalah bersifat kolektif serta untuk menjaga objektifitas, maka saya memilih mengeneralisirnya.
Bagaimanapun, ini adalah sebuah pandangan, bagi remaja yang sedang dimabuk asmara mungkin akan berkata ,” … ini adalah suara hatiku, sayang…”.
Terimakasih telah menulis topik itu pak JK.
Salam kompasiana,
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H