Mohon tunggu...
Alfitriandes Miter
Alfitriandes Miter Mohon Tunggu... karyawan swasta -

Suka mencoba sesuatu yg kira-kira berguna. Selama ini hanya membaca, membaca dan ... membaca. Ngga tau juga apakah ini waktunya menulis, coba dulu aja. Siapa tau b.e.r.g.u.n.a.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Arifin Noor : Alkisah di Tepian Mandi "Batang Sinuruik"

5 Januari 2010   10:46 Diperbarui: 26 Juni 2015   18:37 302
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Kelok bakelok…, Batang Sinuruik,,, Ayienyo janiah.., ikannyo jinak…..”, demikian baris-baris awal sebuah lagu Minang yang berjudul Batang Sinuruik. Batang Sinuruik adalah nama sebuah sungai yang mengalir sepanjang kampung Sinurut (setingkat kelurahan) di Kec. Talamau, Pasaman Barat – Sumbar. ‘Batang’ sendiri di sini berarti sungai.

Siapa orang Talu (Ibu Kec. Talamau) yg tidak tahu dengan lagu Batang Sinuruik ? Dapat dipastikan hampir seluruh masyarakat Talamau mengenal lagu ini, yang sering kali mengiringi “lagu wajib” orang Talu (Talamau) dalam setiap ada acara resepsi, yaitu lagu Rang Talu. Bukan hanya masyarakat asli Talu atau yg lahir dan besar di Talu, Batang Sinuruik juga populer dikalangan perantau Talu (Talamau), bahkan Pasaman Barat, dimanapun mereka berada. Batang Sinuruik memang pernah beredar melalui pita kaset, cassette, di daerah Minang.

Ironisnya, Dibalik keindahan syair dan syahdunya alunan melodi Batang Sinuruik, banyak yg tidak tahu siapa pencipta lagu tsb. Bahkan ketika orang-orang menyanyikannya di atas panggung, tidak peduli dari mana datangnya dan dari siapa Batang Sinuruik ia kenal sebelumnya. Yang mereka sadari hanyalah bahwa Batang Sinuruik adalah lagu yg sangat indah, penuh penghayatan dan mewakilkan semangat kedaerahan yg sangat kuat. “Siapa penciptanya ?”, kebanyakan diantaranya, apalagi kaum muda, menjawab seadanya, “Wallahu Alam…”.

Beruntung saya pada suatu waktu berkesempatan bertamu ke rumah Bp Arifin Noor sang penggubah “Batang Sinuruik” di Jl Bangkok, Talu. Rumah yg sangat sederhana, berdekatan dengan sawah dan dua buah empang, masing-masing dibelakang dan di sampingnya, tak ada tanda-tanda kesan materi apalagi kemewahan. Seluruh sisi dan sendi-sendi rumah itu menggambarkan kesederhanaan penghuninya. Namun jika diperhatikan perlahan-lahan dibalik kesederhanaan itu mengalir energi seni yg luar biasa. Di sebuah ruangan tamu (yang tersambung dengan ruangan keluarga) terdapat 1 set sice rotan rangka kayu. Disalah satu dinding (yg bagian dalamnya pastilah kamar tidur), terletak sebuah alat musik keyboard (mungkin Yamaha) dan di atasnya tergantung sebuah biola yg susah ditebak usianya. Dibagian bawah sebelah kanannya tergeletak sebuah accordion usang, alat musik yg sangat populer dizamannya. Di sisi berseberangan dengan dinding di sisi mana letak keyboard, terpampang sebuah lukisan alam berbingkai kayu secara vertikal (l.k tinggi 1,5 meter). Dinding ruang keluarga yg mengarah ke ruang tamu juga dihiasi sebuah lukisan lain yg l.k berukuran sama, tapi formatnya horizontal. Lukisan lain (lebih kecil) juga tergantung di sisi kiri jika berdiri menghadap ke arah ruang tamu. Semua lukisan tsb bertema pemandangan alam dan siapapun yg memperhatikan fisik dan bahan yg digunakan, baik dasar lukisan maupun bingkainya, pastilah dapat menduga bahwa semua lukisan itu bukan berasal dari sebuah etalase toko lukisan, atau dari sanggar pelukis ternama, atau dari pameran lukisan nasional maupun internasional, dan dugaannya tak akan meleset bahwa lukisan-lukisan itu adalah hasil karya tangan penghuni rumah itu sendiri. Ya, lukisan-lukisan itu adalah hasil karya goresan kuas dari tangan Pak Ipin, yg juga menciptakan lagu Batang Sinuruik di tahun 60-an.

Alkisah di Tepian Mandi

Berbincang-bincang dengan pak Ipin (panggilan akrab pak Arifin) yg piawai memainkan beberapa alat musik ini, sungguh menyenangkan. Memperhatikan cara ia bercerita diiringi raut mukanya yg berubah-ubah, terkesan seolah-olah semua masa lalu masih segar dalam ingatannya. Ketika itu (awal-awal tahun 60), Arifin muda masih duduk dibangku sekolah tingkat SLTA, yaitu Sekolah Sadar Bhakti, sedang berteman dekat dengan seorang anak gadis, asal Kajai (sebuah nagari/negeri di Kec. Talamau, Pasaman Barat) yg tinggal jadi anak kost di belakang pasar Talu. Seperti diketahui, di belakang pasar itu juga mengalir sungai (batang) yaitu Batang Sinuruik. Di salah satu sisi sungai tsb terdapat tapian (tepian) tempat orang-orang sekitar biasanya mencuci dan mandi. Dapat diduga kisah selanjutnya bahwa di tepian inilah sering terjadi pertemuan-pertemuan Arifin muda dengan teman dekatnya si urang Kajai, yg dipanggilnya si As. Sembari pak Ipin memutar memorinya,

”…..hm ambo tau mbo tu. Wa’e urang Kojai, namo’e Yuri Asma, he.he”, (“…hmm saya tahu kok, dia orang Kajai, namanya Yuri Asma, hehe”)

Bu’ Hasina (istri tercinta, kini almarhumah) menimpali sambil tertawa kecil dengan logatnya yg khas. Hm, lucu juga rasanya hadir diantara orang-orang tua yg sedang bermemori masa remajanya.

“Haa, iyo. namo’e Yuri Asma. Terkahir yg ambo tau wa’e jadi Bidan di Semarang,” (“..Oo, ya, namanya Yuri Asma. Terakhir yg saya tahu ia bekerja jadi bidan di Semarang”)

lanjut pak Ipin setelah semuanya kembali segar dalam ingatannya.

Kisah “muda” nya ini pun memberi inspirasi tertulisnya bagian syair termasuk judul lagu Batang Sinuruik. “Hafal kan syairnya ? “, pak Ipin bertanya dengan intonasi yg tak meminta jawaban. Tanpa diminta, ia pun langsung bersenandung kecil,”…tapian mandi….. yo sanak, kito nan…..lamo”. Raut mukanya tetap tersenyum, namun rona matanya yg ikut bernyanyi tak dapat menyembunyikan bahwa ia sedang melihat kisah doeloe itu sedang diputar kembali dan menari-nari di depan pelupuk matanya. Kemudian air mukanya berubah seolah menyiratkan kebanggaan seorang lelaki remaja ketika mengalunkan potongan syairnya yg lain, “… kaia lah lakek…, ikan manuruik….” (… kail sudah lengket/mengait…, ikannya mengikut..)

Sekedar untuk memecah suasana agar kembali ke situasi bincang-bincang, sayapun pun melanjutkan bait tsb,”…jauah di mato….takana, Batang Sinuruik.., tapian mandi yo sanak… kito nan lamo”(… jauh di mata… terkenang, …Batang Sinuruik)

Demikian lah pak Arifin Noor, yg dengan sepenuh hati hanya untuk berkarya sebagai salah satu kontribusinya terhadap kampung halaman, dengan mengabadikan Batang Sinuruik dalam sebuah lagu yg sampai hari ini (dan seterusnya) tetap populer dan melekat di hati semua orang Sinuruik, Rang Talu,…Talamau.

Kelok ba kelok …,Batang Sinuruik…, aie nyo janiah ikannyo jinak…..”, di akhir obrolan, pak Ipin pun menggesek biolanya untuk sebuah Batang Sinuruik. [pernah saya muat di www.rangtalu.net dngn judul berbeda]

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun