Cerita sebelumnya: "Mutar-mutar Seharian di Phnom Penh, Siapa Takut?"
Selanjutnya, mari kita lanjutkan perjalanan kita... Masih MAIN COURSE
Kampong Chamlong Phnom Penh Areiy Ksatr
Ketika langit mulai bersahabat, saya belum menemukan jalan yang membawa kami keluar dari Sungai Mekong. Kami terus berjalan kaki sampai ke sebuah terminal ferry. Di sini, kapal ferry merupakan salah satu transportasi utama mengingat wilayah negaranya yang dipecah oleh banyak sungai besar. Seperti biasa, ke daerah manapun perjalanannya, saya harus mencicipi semua jenis transportasi yang mereka punya, termasuk kapal-kapal ferry ini.
Aslinya sih pejalan kaki nggak perlu bayar. Tapi nggak apa-apa, saya membayar sekalian ingin bertanya-tanya. Ya meskipun nggak dapat jawaban satu pun. Petugas pelabuhannya nggak ada yang bisa bahasa Inggris. Untung bisa balik ke pelabuhan semula.
Samdech Chuon Nath Statue
Menjauh dari sungai, saya menjelajahi berbagai taman kota yang masih bisa dijangkau oleh kedua kaki. Saya harus bisa membidik semua situs yang ada meski kaki rasanya sudah ingin berkhianat. Monumen pertama yang saya lewati adalah monumen seorang Patriark Agung Kamboja bernama Samdech Chuon Nath.Â
Tokoh sejarah yang hidup sebelum tahun 70-an ini sangat berjasa dalam proteksi identitas dan sejarah Khmer serta konservasi Bahasa Khmer di Kamboja. Selain menuliskan kamus Bahasa Khmer, beliau juga menciptakan lagu nasional Kamboja, di antaranya berjudul "Nokor Reach"Â dan "Pong Savada Khmer".
Independence Monument
Terus ke arah barat, saya menjenguk Monumen Kemerdekaan Kamboja. Jangan bayangkan Tugu Monas yang menjulang tinggi di atas tanah Batavia. Monumen nasional yang saya temui ini tidak terlalu menarik perhatian.
Meski begitu, bangunan sejenis stupa yang berbentuk teratai ini tetap menjadi pusat aktivitas masyarakat pada berbagai perayaan nasional. Berdiri kokoh di tengah bundaran persimpangan jalan, monumen ini dibangun untuk memperingati kemerdekaan Kamboja dari Prancis tahun 1953 silam.