Masih di Kabupaten Situbondo, mari kita lanjutkan penjelajahan virtual kita ke sisi barat Situbondo. Kali ini, adik laki-lakiku mengajakku pergi ke air terjun di kaki Gunung Argopuro. Hanya percaya sepenuhnya, aku tak mengira dan sama sekali tak membayangkan dimana letak air terjun ini. Melihat dia yang begitu enteng mengajak pergi sore-sore, aku mengira akan berkunjung ke tempat yang dekat-dekat saja.Â
Ditambah lagi jawaban geje (gak jelas) yang selalu dilontarkan saat ditanya, membuat perjalanan ini semakin tidak jelas saja. Memang dasar laki-laki baru gede yang semangat menjelajahnya tinggi, kami pergi tanpa persiapan apapun.
Dari arah kota, kami melipiri pantura ke arah barat. Di tengah perjalanan, kami menjemput seorang kawan. Dia teman SMP adikku yang kini bersekolah di SMAku dulu. Saat mentari ashar sudah berjalan hampir separuhnya, kami melewati terminal dan alun-alun Besuki. 'Oh tidak', batinku. 'Ini jauh sekali'. Kami masih berjalan terus ke barat hingga sampailah di SPBU Utama Raya, satu dari sejumlah SPBU terbaik di Indonesia, dan aku percaya mungkin juga se-Asia Tenggara.Â
Utama Raya bukan sekadar pom bensin biasa yang menyediakan rest area biasa. SPBU ini memiliki restoran, villa, hotel, toilet VIP dengan air hangat padahal hawanya panas, serta kafe yang menyuguhkan secangkir kopi luwak dengan harga ratusan ribu rupiah.
Bagi rakyat jelata Situbondo yang UMRnya belum menggapai angka satu setengah juta, kopi ini tentulah merupakan barang mewah. Pernah kejadian seorang kenalan berencana liburan ke luar kota (lupa ceritanya dari mana hendak ke mana).Â
Dalam perjalanan, rombongan itu mampir di restoran Utama Raya untuk menyeruput secangkir kopi. Tanpa bertanya harga, rombongan ini terkejut bukan kepalang menyaksikan isi dompetnya raib seketika, berpindah tangan pada sang kasir yang tega nian. Akhir cerita, rombongan ini kembali pulang dan batal jalan-jalan karena uang telah habis duluan.
Beralih dari jalan raya pantura, kami masuk melalui jalan desa. Selanjutnya, medan untuk mendekati si air terjun membuatku gelisah tak berdaya. 'Ini jalannya orang, bukan jalannya sepeda motor', pekikku. 'Bahaya!!'Â Tapi toh kedua laki-laki remaja ini tetap tenang memacu kuda besinya.
Hari sudah hampir gelap saat kami menitipkan dua kuda kami di halaman rumah penduduk. Air terjun ini masih asri dan belum terjamah. Kami tidak membayar sepeserpun untuk tiket masuk maupun ongkos parkir. Di awal rute berjalan kaki, kami menemui beberapa pekerja yang tengah membangun jalan setapak. 'Oh, ini mau dibangun jalan. Berarti setelah ini air terjunnya berencana dibuka untuk wisata umum.'
"Kok kesorean dek, sudah hampir malam ini."Â begitulah kira-kira komentar mereka yang kami papasi.
Lima menit, sepuluh menit. Aku belum melihat tanda-tanda adanya air terjun.