Mohon tunggu...
almiraminerva
almiraminerva Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

ap y, buat tugas aj

Selanjutnya

Tutup

Politik

Kenaikan PPN 12%: Antara Optimalisasi APBN dan Tantangan Ekonomi Rakyat

28 Desember 2024   09:05 Diperbarui: 28 Desember 2024   09:03 19
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Pemerintah Indonesia memutuskan untuk menaikkan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12% pada tahun 2025, sebuah kebijakan yang memicu beragam reaksi di masyarakat. Dalam kebijakan ini, pemerintah berargumen bahwa kenaikan tarif merupakan langkah strategis untuk mengoptimalkan penerimaan negara demi menutupi defisit Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) yang meningkat signifikan selama pandemi Covid-19. Namun, langkah ini perlu ditelaah lebih dalam terkait implikasi ekonominya, terutama bagi masyarakat menengah ke bawah yang rentan terdampak.
Peningkatan tarif PPN dianggap sebagai keputusan yang rasional jika dilihat dari sudut pandang fiskal. Dalam beberapa tahun terakhir, beban APBN melonjak, antara lain akibat pembiayaan insentif kesehatan, vaksinasi gratis, dan bantuan sosial selama pandemi. Berdasarkan data Kementerian Keuangan, belanja negara terus meningkat dari Rp1.806,5 triliun pada tahun 2015 menjadi Rp2.750 triliun pada 2021. Sebagai sumber penerimaan utama negara, pajak memiliki peran krusial dalam menutup defisit anggaran. Selain itu, kenaikan tarif ini juga diposisikan untuk menyesuaikan dengan rata-rata tarif PPN negara-negara anggota OECD, yaitu 15%, sebagai bagian dari upaya Indonesia menjadi negara maju dengan tata kelola perpajakan yang modern.
Namun, di balik manfaat yang diharapkan, kebijakan ini juga menyimpan potensi dampak negatif yang tidak bisa diabaikan. Dengan naiknya tarif PPN, harga barang dan jasa akan ikut melonjak, meningkatkan beban ekonomi masyarakat. Dampaknya lebih dirasakan oleh kelompok miskin yang pengeluarannya bertambah signifikan, sementara daya beli mereka semakin tergerus. Berdasarkan prediksi, kenaikan PPN 12% dapat menambah beban pengeluaran masyarakat miskin hingga Rp101.880 per bulan. Ini bukan angka kecil, terutama bagi mereka yang hidup di bawah garis kemiskinan.
Tidak hanya itu, kenaikan tarif PPN juga berpotensi menekan konsumsi rumah tangga, salah satu motor penggerak utama perekonomian nasional. Konsumsi rumah tangga yang sebelumnya tumbuh di angka 5% mulai melambat sejak tarif PPN naik menjadi 11% pada tahun 2022. Diperkirakan, tren perlambatan ini akan terus berlanjut hingga tahun 2025. Jika pertumbuhan konsumsi tertekan, dampaknya akan terasa pada sektor usaha, terutama usaha kecil dan menengah (UKM), yang omsetnya berkurang. Akibatnya, penerimaan pajak dari sektor lain, seperti Pajak Penghasilan (PPh) badan dan individu, juga dapat terpengaruh negatif.
Kebijakan ini juga menuai kritik karena terkesan tidak konsisten dalam narasi publik. Sebagai contoh, awalnya pemerintah menyatakan bahwa kenaikan PPN hanya berlaku untuk barang dan jasa mewah. Namun, pernyataan tersebut kemudian direvisi, menyebutkan bahwa sembako dikecualikan dari kenaikan, tanpa kejelasan lebih lanjut mengenai cakupan barang selain sembako. Ketidakkonsistenan ini menimbulkan kebingungan di masyarakat, yang pada akhirnya berpotensi melemahkan kepercayaan publik terhadap pemerintah.
Barang-barang yang dikecualikan dari PPN 12% antara lain beras, gabah, jagung, sagu, kedelai, garam, daging, telur, susu, buah-buahan, dan sayur-sayuran. Selain itu, jasa-jasa seperti pelayanan kesehatan medis, pelayanan sosial, pendidikan, angkutan umum, jasa keuangan, dan asuransi juga dibebaskan dari PPN 12%. Sebaliknya, barang dan jasa yang tergolong mewah akan dikenakan tarif PPN 12%. Kategori ini mencakup layanan kesehatan dan pendidikan premium, konsumsi listrik rumah tangga dengan daya 3.600–6.600 VA, serta produk makanan premium seperti beras, buah-buahan, ikan, udang, dan daging berkualitas tinggi.
 
Sebagai langkah mitigasi, pemerintah perlu memastikan bahwa kenaikan PPN disertai dengan kebijakan kompensasi yang efektif, seperti bantuan langsung tunai (BLT) bagi masyarakat berpenghasilan rendah dan insentif bagi pelaku usaha kecil. Selain itu, transparansi dan konsistensi dalam komunikasi publik harus ditingkatkan agar masyarakat dapat memahami dan menerima kebijakan ini dengan lebih baik. Dengan demikian, dampak negatif kenaikan tarif PPN dapat diminimalisir, sementara tujuan optimalisasi APBN tetap tercapai.
Pada akhirnya, kenaikan PPN menjadi 12% adalah keputusan yang penuh tantangan, baik secara politik maupun ekonomi. Di satu sisi, kebijakan ini diperlukan untuk menjaga stabilitas fiskal negara. Di sisi lain, pemerintah harus berhati-hati agar kebijakan ini tidak justru memperparah kesenjangan ekonomi dan menurunkan kualitas hidup masyarakat. Langkah yang seimbang antara kebutuhan fiskal dan kepentingan rakyat adalah kunci untuk menjamin keberlanjutan pembangunan ekonomi Indonesia.
Kenaikan tarif PPN menjadi 12% adalah kebijakan yang memiliki tujuan positif, yaitu mengoptimalkan penerimaan negara untuk menutupi defisit anggaran. Namun, dampak negatifnya terhadap daya beli masyarakat, sektor UKM, dan ketimpangan ekonomi perlu diantisipasi dengan langkah-langkah mitigasi yang tepat. Dengan kebijakan pendukung yang efektif, pemerintah dapat mengurangi dampak buruk kenaikan tarif PPN, memastikan stabilitas ekonomi, dan menjaga kesejahteraan masyarakat. Pemerintah harus memastikan bahwa tambahan penerimaan negara dari kenaikan PPN digunakan secara efisien dan transparan untuk program-program prioritas, seperti pembangunan infrastruktur, pendidikan, dan kesehatan.
Pada akhirnya, keseimbangan antara kebutuhan fiskal negara dan kepentingan rakyat adalah kunci keberhasilan kebijakan ini. Pemerintah harus terus memonitor dampaknya dan melakukan penyesuaian jika diperlukan agar tujuan pembangunan ekonomi Indonesia tetap tercapai secara berkelanjutan. Selain itu, partisipasi masyarakat dalam menyampaikan aspirasi dan masukan terkait kebijakan fiskal sangatlah penting.
Dengan mendengarkan kebutuhan dan kekhawatiran rakyat, pemerintah dapat memastikan bahwa kebijakan yang diterapkan tidak hanya relevan, tetapi juga dapat diterima oleh berbagai lapisan masyarakat. Pada saat yang sama, upaya untuk meningkatkan penerimaan negara harus diimbangi dengan efisiensi dalam pengeluaran. Penggunaan anggaran yang tepat sasaran dan penghapusan praktik korupsi atau pemborosan dana publik akan memberikan ruang fiskal yang lebih besar untuk mendukung program pembangunan yang pro-rakyat.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun