Pada detik ini, aku bahkan belum bisa bernafas tanpa meninggalkan ngilu. Otakku beku hanya digaris lembayung tanpa mega itu. Berulang kali aku mengetuk-ngetuk dadaku, keras, Oksigen tetap enggan membersihkan paru-paruku. Rasanya pengap sekali. Dan dengan teganya, segala sesuatu yang memantul hanya m,embiaskan potongan indah disore itu. Ketika kakiku menopang berbagai rasa yang bercampur seperti warna kembang api diakhir tahun.
Dan macam-macam rasa yang seperti letusan kembang api diakhir tahun itu merupakan alarm yang mengakhiri segalanya. Mengakhiri pikiran-pikiran yang terus mengganggu sejak 7 haru yang lalu. Kemudian pertanyaan-pertanyaan tentang apa, kenapa, dan bagaimana yang ikut menemui ajalnya.Selanjutnya adalah doa-doa yang terpanjat mengiringi hilangnya lembayung dilangit mendung itu mutlak semua semarak warna-warni itu berakhir begitu saja menemui ajalnya.
Mendadak, segala sesuatunya mejadi tanpa cahaya. Gelap. Kedatangannya bukan lagi waktu yang penting untuk kuhitung. Tebakan tentang ingatannya akan diriku pun bukan lagi taruhan yang menarik. Caraku menyapanyapun tidak lagi ku gladiresikkan didepan cermin. Semuanya berangsur memudar dan sangat ringan. tanpa perhitungan, tanpa perkiraan, memantul kembali ke arah putar ulang waktu 7 hari yang lalu. Abadi terkunci disore yang cantik itu. Tak ada lagi yang tersisa kecuali rasa penasaran yang menyakitkan terhadap waktu berakhirnya kerinduan ini.
Ya. Satu-satunya yang belum berakhir hanyalah kerinduan ini.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H