Mendadak, segala sesuatunya menjadi rumit. Kedatangannya adalah janji yang mesti terpenuhi. Begitupun dengan tebakan ia mengingatku atau tidak. Bahkan pikiran dikepalanya pun ingin kuintip semua. Ketika kutanyakan kepada si pemikir dikepalaku maka jawabnya adalah "tetaplah berpikir positif karna itulah satu-satunya cara untuk menyederhankan segalanya".
Mendadak, segala sesuatunya menjadi pertimbangan. Bagaimana cara menyapanya dan bagaimana berpenampilan dihadapannya. Begitupun dengan hitungan spekulasi bertemu atau tidak. Ataui pikiran tentang topik apa yang biusa dihidangkan agar tetap hangat. Keta kutanyakan pada penimbang didalam hati maka jawabnya adalah " Berdoalah kepada Tuhan, sebab itulah satu-satunya cara menepis keragu-raguan."
Dia begitu berbeda. Berbeda didua masa yang tak mungkin kembali. Antara 7 hari yang lalu dengan setahun yang lalu. Atau mungkin, bertahun-tahun yang lalu. Sebab ada lalasan yang selalu disiapkan untuk memebela diri. Kecuali saat dimana aku menunggunya tempo hari. Saat itulah alasan sudah tidak menjadi alat untuk mencairkan toleransi.
Kepada hati aku terus membisikkan ketenangan. Tentang bagaimana menyimpan rahasia. Tentang bagaimana mengatur emosi. Dan tentang bagaim,ana menyatakan pada diri bahwa aku telah jatuh hati. Terkadang pengakuan adalah dusta. Tentang bagaimana nurani membniarkan kebohongan meluncur begitu saja menutupi haqiqi. Tentang bagaimana membantah kenyataan bahwa setulus rasa telah dikhianati.
Apalagi yang bisa kubahas ? Bertannya pada logika mengenai sebab penantianku yang sia-sia atau menulis sederet kerangka tanya mengenai kata yang berbunyi "kenapa?". Semua pembahasan itu hanyalah berupa sampah organik yang diolah kembali menjadi pupuk. Sayangnya tak mampu menyuburkan apapun ; PUPUK GAGAL.
Aku hanya memiliki satu sore yang cantik dalam hidupku. Dimana selembar langit terhampar mendung dan dihiasi garis-garis lembayung tanpa mega. Sendunya menular pada emosi yang memang baru saja dikecewakan. Aku menangis, kecewa, dan kesal karena alasan tak berisi. Aku menangis, merajuk dan menangis. Dan disanalah ia menjadikan lembaran langit yang sendu itu sebagai sweaterku. Membungkus tubuh dan melenyapkan amarah. Mendinginkan hati, yang tadi meledak-ledak.
Sambil mengepalkan tangan kuat-kuat aku merasakan kehangatan menjalari tubuh, jiwa, dan ragaku, perlahan. Menimbulkan sensasi yang menyenangkan. Melambungkan asa jauh pada harapan untuk tidak terkhianati lagi. Dalam keterkejutan lembut, aku bersandar pada sebuah permohonan yang tiba-tiba saja muncul. Aku memejamkan mata dan terus berdoa pada Tuhan-ku agar tak lagi menjadi rumit. Agar pikiran positif sungguh bisa menyederhanakan segalanya.
Namun sore yang cantik itu hanya kumiliki sekali saja. Sekali dalam usiaku yang hampir meninjak angka 17. Atau mungkin, sekali dalam seumur hidup. Dan sejak senja itu tenggelam bersama mataharinya, aku belum lagi kembali berdoa. Mengulang permohonan itu kini terasa seperti sabetan belati tapi aku tak pernah meragukannya. Tak sedetikpun.
Well, aku tak ingin begitu cepat dilupakan. bahkan tak ingin meski prosesnya lama. Aku benar-benar tak ingin dilupakan karena sebuah ketidak adilan bila aklu yang tak pernah melupakan apa dan siapa ini tiba-tiba dilupakan oleh karena satu kesalahan : Membiarkan kebohongan meluncur begitu saja menutupi haqiqi.
Bagai sulaman wol, semua kerumitan ini terjadi disatu waktu yang singkat. Disatu-satunya sore yang kupunya. Berkumpul, terjalin satu sama lain, menjadi bentuk baru yang kuharap indah pada waktunya. Sebab benang-benang kusut yang dirajut sore itu tak menyisakan apa-apa kecuali kerinduan. Kerinduan yang terasa begitu menyebalkan, begitu mencekik sanubari.
sampai hari ini bahkan sore yang cantik itu masih ada diujung bayangan retina. Terlihat sangat nyata dan masih baru. Sangat jelas dan menggiurkan.Sering aku ingin menangkapnya, meraih ddan menyimpannya berkali-kali. Namun, ketika tanganku terjulur untuk menjemputnya, yang kudapat hanyalah angin kosong. Itu hanya beyangan milik waktu yang tak akan kembali.