“Gue udah ngira koq. Lo pasti minta ke Jerman kan? In crush lo sama Postdam tuh selalu ada dimuka lo udah kayak spanduk!” Vanya terkekeh. “Lagian, kalau memang lo mau dan serius, gue ada tawaran promosi ke Jerman. Si boss minta keputusan akhir gue dua minggu lagi. Terus, 6 bulan ini gue akan urus semua keperluan dan administrasi buat kesana. Tiga bulan kemudian, gue harus bikin laporan terakhir proyek gue. Gimana? Gratis lho, gue kasih lo tawaran ini… “
Ke Postdam. Dulu, waktu belum jadi ibu hamil, ia antusias sekali. Setelah buncit begini, masih adakah sisa semangatnya?
“…sepuluh tahun lagi aku pasti lebih hebat dari Jeremi Teti dan Putra Nababan!” tekad Ata
“Sepuluh tahun lagi juga aku bakal jadi lebih hebat dari Mario Teguh!” dan tawa mereka pun membahana dilangit senja….
Ata… bagaimana dengan Ata? Dua bulan saja tersiksa sekali tanpa Ata. Bagaimana tahun-tahun berikutnya? Bagaimana dan bagaimana? Tetap di Jakarta masih ada kemungkinan bertemu dengan Ata, yang berarti masih ada kemungkinan hatinya sakit lagi. Atau labih parah, hati Ata yang sakit. Ah, mungkin tawaran Vanya ini adalah solusi terbaik yang bisa diambilnya. Agar hidup Ata tetap normal dan ia bisa memulai hidup baru bersama jejak yang Ata tinggalkan ini.
Ata.. sayang.. aku bukan pergi. Hanya jalan-jalan sebentar menelusuri jarak dan waktu untuk memberi mu ruang kebahagiaan. Dan bidadari kecil ini akan aku jaga sampai ia dewasa. Sampai ia lebih cerdas dari ayahnya. Sampai ia lebih cerewet dari ibunya. Sampai ia mengerti alasan apa yang melatar belakangi aku memilih jalan ini. . . Dear, sorry for leaving.
” Oke! Tahun depan kita ke Jerman. ” Kara tersenyum, berusaha se-riang mungkin. ” Let’s start our new white paper! “
****
Dua bulan.. Tiga bulan... Lima bulan... Tujuh bulan... Sembilan bulan... Perut yang makin membesar itu tidak hanya menyiksa Kara dalam posisi tidurnya, tapi juga untuk seluruh kegiatannya. Tapi Kara tidak pernah mengeluh. Meski tanpa suami, meski tanpa ayah sang bayi, Kara tetap kuat. Ia akhirnya kembali pada Tuhannya saat mual hebat menghampiri akhir minggu ke sembilan kehamilannya. Maag-nya sering kambuh dan selera makannya turun drastis. Hanya Tuhan yang sudah dikecewakannya dan mama yang dilukainya yang bisa ia jadikan sandaran.
Ya, siang itu saat ia sedang menahan sakit sendiri dikamar apartemen Vanya, seseorang membunyikan bel. Tertatih Kara membuka pintu dan menemukan mama berdiri dihadapannya sambil tersenyum. Mama yang sudah dua bulan terakhir ini tidak ditemuinya datang. Bingung bercampur senang, Kara tak tahu harus berucap apa dan bersikap bagaimana. Tapi kemudian sakit perut yang menderanya membuatnya ambruk didepan mama.
Kara bersyukur sekali mama datang hari itu. Kalau tidak, mungkin bayinya sudah mati, atau mungkin ia yang mati. Seminggu dirumah sakit seminggu pula mama tidak pernah meninggalkannya semenitpun. Vanya datang hanya tiap malam karna sibuk dengan pekerjaannya, tapi Vanya tidak alpa untuk menanyakan kabar adiknya lewat mama.
Perlahan, papa pun mulai melunak. Papa memang tidak menjenguknya saat ia terbaring dirumah sakit, tapi dari mama ia tahu bahwa yang mengiriminya susu setiap malam adalah papa. Satu minggu setelah Kara keluar dari rumah sakit, papa datang menemuinya untuk memintanya kembali ke rumah. “Siapa yang akan merawat kamu kalau kamu disini? Vanya kerja. Ia punya urusannya, gak mungkin memperhatikan kamu tiap detik.” Begitu kata papa dengan mata yang terlihat berkaca-kaca.
Kini, perutnya sudah membuncit besar. Mungkin dua minggu lagi ia akan melahirkan. Papa dan mama merawatnya dengan sangat baik. Papa selalu menemaninya senam kehamilan, dan mama tidak pernah seharipun tidak masak sayur-mayur segar dan mengingatkannya untuk minum redoxon. “Supaya cucu mama gak ompong kayak kamu dulu,” kelakar mama.
Hahh, Kara beruntung. Orang tua nya masih sudi merawatnya meski sudah Kara coreng nama baiknya. Hamil diluar nikah tentu bukan aib yang kecil. Tante-tantenya sangat cerewet dan sibuk tanya ini-itu. Tapi papa dan mama tutup kuping. Selama anaknya mau bertobat, itu saja sudah membuat mama-papa senang, meski tak menyembuhkan luka mereka dengan segera.
Bagaimana Ata?
Jujur, Kara tidak tahu bagaimana dengan Ata. Sembilan bulan sudah mereka tak bertemu. Kabar terakhir yang ia dengar dari temannya, Ata sudah menjadi wartawan tetap disebuah surat kabar online sejak dua bulan lalu. Syukurlah.. tanpanya Ata tidak terpuruk.
Kara membuka laci mejanya dan mengambil sebuah kotak berukuran 40 x 30 sentimeter yang dililit pita merah. Dari dalamnya ia mengeluarkan sebuah bingkai. Dibingkai itu ada sebuah foto berukuran 4R yang merupakan foto Ata. Foto ini diambil setahun yang lalu saat Ata menyalonkan diri sebagai ketua BEM jurusan.
Ahh, sial! Kara masih sangat merindukan pemuda ini. Sangat. Doa untuknya pun tak pernah alpa Kara kirimkan diakhir wiridnya. Tapi.. sudahlah! Ia percaya pada Tuhannya. Kara sudah menitipkan lahir bathin Ata pada Tuhannya. Tuhan yang masih mau memaafkannya meski sudah berkali-kali Kara mendurhakai-Nya.
Ata, kalau saja kamu bisa dengar. Kalau saja kamu pun masih ingat. Ini aku, Kara. Anak kecil, bawel dan cerewet yang selalu meminta kamu untuk tidak sibuk. Yang selalu marah kalau kamu tinggal meski hanya dua jam. Yang selalu membuat kamu kecewa karna harus pulang lebih cepat sebab berada dalam deadline jam keluar dari papa. Ini aku, Kara. Gadis berusia 18 tahun yang sedang hamil tua. Hamil. Mengandung. Mengandung anak kamu. Anak kita.
Siapa namanya kelak, Ta? Kalau dia perempuan .. dan kalau dia laki-laki.. siapa? Siapa namanya kelak? Dan nasabnya? Nama siapa yang akan ia pakai untuk akta kelahiran bayinya? Nama siapa yang akan bayi ini gunakan untuk nasabnya? Namaku? Hanya nabi Isa yang memakai nama ibunya sebagai nasab. Itu hak istimewa. Ibu Maryam dianugerahi anak dari surga. Bukan hamil diluar nikah!
Ya Tuhan, Ta.. aku sendirian tanpa kamu disini. Beritahu aku bagaimana menyelesaikan masalah ini? Aku tidak se-kritis kamu. Tidak se-global kamu. Aku gak tahu apa-apa soal politik, komunikasi, jurnalistik, apalagi cara mengurus bayi yang tanpa ayah. Aku Cuma bisa bahasa Inggris. Dan dalam bahasa Inggris tidak ada rumusan mengenai ini. Ada nya juga simple present tense dan error recognation, bukan perkara hamil diluar nikah!
Ata.. Ata.. Ata..
Ata bukan om jin milik Aladin yang bisa datang saat namanya disebut tiga kali. Ata Cuma mahasiswa yang sekarang sepertinya baru hampir semester 6. Cuma punya motor bebek satu, bukan teleporter yang bisa mengantarnya kemanapun dalam waktu 2 menit. Ata juga tidak memiliki cermin yang bisa mengetahui keadaan manusia. Jadi, kalau Kara tidak meninggalkan pesan apapun dan tidak mengatakan apapun maka Ata tidak bisa mngetahui apa yang terjadi pada perempuan yang dulu dikasihinya itu. Yah, itupun kalau Ata benar-benar mencintai Kara dan menganggap kehadirannya nyata.
Sudahlah Kara! Ini kan keputusanmu untuk tidak membebankan kekacauan ini pada Ata, jadi jangan disesali! Jangan diandai-andaikan begini-begitu! Ingat, ini keputusanmu!
Sebentar lagi ia dan Vanya akan berangkat ke Jerman. Dua bulan lagi dan ia akan memulai hidupnya yang baru bersama putranya dan juga Vanya. Papa sudah setuju dengan keputusan kedua putrinya. Asal bisa memanfaatkan waktu dan tidak membuat kesalahan yang lebih fatal dari yang sudah dilakukan, papa oke saja. Mama juga oke kalau saja ada yang membantu Kara mengurus bayinya disana. Sayangnya, Kara tidak bisa menjamin itu. Dan mama masih belum memberikan lampu hijau kalau belum ada jaminan tentang itu.
“Pokoknya, mama gamau kamu kerepotan ngurus anak disana. Kamu kan mau kuliah, bukan Cuma ngurus anak. Nah, selama kamu kuliah, yang ngurus anak kamu itu siapa?!” omel mama.
“Bu Ainun juga ngurus anak sendiri koq ma, waktu di Jerman. Dan beliau bisa!”
“Tapi bu Ainun gak sambil kuliah dan gak hamil duluan, Kara!”
Kara terdiam. Mencermati kalimat mama.
Ia memang sangat mengidolakan Ibu Ainun, tapi ia tidak bisa meneladani beliau untuk menjaga harga diri dan kesuciannya. Payah!
“Kara, mama menginginkan yang terbaik untuk anak mama. Mama sudah bisa terima kamu hancur kemarin, tapi untuk kedua kalinya, mama gak akan mengizinkan anak mama hancur lagi!”
Ya, mama benar. Mama selalu benar. Mama benar kalau anak perempuan itu seperti bunga. Kalau sudah dihisap madunya, ia tidak akan segar lagi. Mama benar kalau menjaga mahkota itu sangat penting, karna itu adalah harta yang hakiki bagi seorang wanita. Mama benar. Kalau mama salah, Kara tidak akan sehancur ini.
Seharusnya dulu ia dengar kata mama, ingat juga nasehat mama. Pokoknya, kali ini ia tidak boleh salah lagi! Ia harus ikut apa kata mama-papa. Ia tidak boleh tersungkur lagi! Ia harus tepat mengambil keputusan, tidak boleh salah lagi!
“Jadi, gimana dong menurut mama?”
Kara mengamati wajah tua mama yang sedang berpikir. Wajah yang dulu sangat segar kini mulai diselimuti keriput dan kerut-kerut yang Kara tahu, ia ikut andil dalam kemunculan kerutan itu.
“Kamu disini. Kuliah disini. Urus anak dan sambil pelajari usaha kita. Biar Vanya ke Jerman, kamu bisa nyusul kapan-kapan.” Mama merengkuh tangan putri bungsunya. “Ada mama sama papa disini. Kamu gak akan sendirian, dan kami bisa terus mengontrol kamu dan perkembangan anak kamu, cucu mama dan papa,”
Begitu? Keputusan itukah yang harus diambilnya? Menunda lagi pertemuannya dengan Istana Postdam? Ah! Postdam sudah tidak lagi penting untuk Kara. Bukan lagi ambisinya. Ia merasa, dengan perut sebesar ini, ia sudah tidak lagi muda. Ia merasa sudah lebih sepuluh tahun dari usianya. Tua sekali untuk berharap menghabiskan masa muda di Jerman dan berlari di teras Postdam yang bersalju. Terlalu tua untuk mengejar mimpinya yang tinggi. Sepertinya, sepuluh tahun lagi ia belum bisa menandingi Mario Teguh. Bahkan sepuluh tahun berikutnya pun, ia belum tentu bisa menandingi Tina Talisa.
“Ma, aku udah berantakan karna gak nurut mama.” Kara menggenggam erat tangan mama. “Aku gak mau berantakan dan nyakitin mama untuk yang kedua kalinya. Apapun keputusan mama, aku ikut.”
To be continued..
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H