Mohon tunggu...
Almendo Thio Lindra
Almendo Thio Lindra Mohon Tunggu... Guru - Pendidik

Hobi Membaca dan Bermain Game

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Sistem Pendidikan Indonesia, Apakah Anak Sekolah menjadi Korban?

16 Juli 2024   15:59 Diperbarui: 17 Juli 2024   14:04 42
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Sistem pendidikan di Indonesia saat ini dianggap menghancurkan masa depan anak-anak karena tidak mengembangkan bakat dan minat mereka. Sekolah-sekolah lebih fokus pada nilai akademik daripada mengasah potensi unik setiap individu. Pendidikan di Indonesia sering kali mengajarkan anak untuk menjadi 'bodoh' dan tidak mengembangkan potensi alamiah mereka, seharusnya mendorong mereka mengeksplorasi bakat dan minat untuk kebahagiaan dan kesuksesan di masa depan.Pendidikan harus disesuaikan dengan minat dan kebahagiaan setiap anak untuk mencapai kesuksesan di masa depan, bukan hanya memenuhi standar sekolah. Pentingnya pendidikan yang menyesuaikan minat dan kebahagiaan anak untuk mencapai kesuksesan di masa depan.Dampak negatif standarisasi pendidikan terhadap perkembangan individu dan pentingnya memperhatikan keunikan setiap siswa. Pendidikan dan kebodohan yang disengaja dapat menghambat kemajuan logika dan evaluasi diri, menyebabkan frustasi dan kesulitan dalam mengakui kesalahan. Dampak frustasi dari kekalahan dan kesulitan mengakui kesalahan dalam evaluasi diri.Keterkaitan antara kebodohan yang disengaja dengan kesulitan mengalahkan kompetitor. 

Anak-anak di Indonesia sering merasa trauma dengan belajar karena beberapa faktor, antara lain:

  1. Tekanan Prestasi: Sistem pendidikan yang menekankan nilai akademik tinggi dan kompetisi ketat dapat menciptakan tekanan yang berlebihan bagi anak-anak. Target pencapaian yang tinggi seringkali membuat anak merasa stres dan takut gagal.

  2. Kurangnya Dukungan: Beberapa anak mungkin tidak mendapatkan dukungan yang cukup dari lingkungan sekitarnya, baik dari keluarga maupun sekolah. Kurangnya dukungan ini dapat menyebabkan rasa tidak percaya diri dan kecemasan dalam belajar.

  3. Metode Pembelajaran yang Tidak Sesuai: Metode pembelajaran yang monoton, kurang interaktif, dan tidak memperhatikan keberagaman gaya belajar anak-anak juga dapat menyebabkan rasa bosan dan frustrasi.

  4. Stigmatisasi dan Diskriminasi: Terkadang, anak-anak di Indonesia juga mengalami stigmatisasi atau diskriminasi di lingkungan sekolah, baik karena perbedaan etnis, agama, atau kondisi sosial ekonomi. Hal ini dapat membuat mereka merasa tidak aman dan trauma.

Semua faktor tersebut dapat menyebabkan anak-anak merasa trauma dengan belajar dan membuat mereka kehilangan minat dan motivasi untuk mengembangkan potensi mereka. Oleh karena itu, penting untuk mengevaluasi sistem pendidikan dan mencari solusi untuk menciptakan lingkungan belajar yang lebih mendukung dan inklusif bagi semua anak.

Menurut pemikiran Pak Guru Gembul dalam suatu podcast youtube, masalah utama dengan sistem pendidikan di Indonesia adalah kurangnya penekanan pada pengembangan bakat dan minat anak-anak. Sekolah-sekolah cenderung memprioritaskan penilaian akademik dan kurikulum standar nasional tanpa memberikan ruang yang cukup bagi siswa untuk mengeksplorasi potensi kreatif mereka. Pak Guru Gembul juga merasa bahwa sistem pendidikan saat ini cenderung mengabaikan keunikan setiap individu dan lebih fokus pada pemenuhan target akademik. Hal ini membuat banyak siswa merasa terbebani dan tidak termotivasi untuk belajar. Selain itu, kurangnya pelatihan untuk guru dalam memahami kebutuhan individual siswa juga menjadi masalah serius dalam sistem pendidikan. Dengan demikian, Pak Guru Gembul percaya bahwa perlu ada perubahan dalam pola pikir pendidikan di Indonesia agar lebih memperhatikan dan mengembangkan bakat serta minat anak-anak, sehingga mereka dapat tumbuh dan berkembang secara holistik.

Pak Guru Gembul ingin mengubah sistem pendidikan di Indonesia dengan pendekatan yang lebih inklusif dan mengakomodasi kebutuhan individu. Dia menyatakan pentingnya menghargai perbedaan setiap anak dalam hal bakat, minat, dan kebutuhan belajar. Pak Guru Gembul juga mendukung pengembangan kurikulum yang lebih beragam dan fleksibel, serta lebih memperhatikan pendekatan pembelajaran yang menyenangkan dan memotivasi. Selain itu, dia memperjuangkan adanya penilaian yang lebih holistik dan tidak hanya berfokus pada tes akademik, tetapi juga mencakup aspek kreativitas, keterampilan, dan kepribadian anak. Dengan demikian, Pak Guru Gembul berharap bahwa setiap anak dapat tumbuh dan berkembang sesuai dengan potensi uniknya.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun