Sebanyak 99,9% orang pasti meyakini bahwa Tuhan dahulu menciptakan alam ini dengan seimbang. Saya menggunakan terminologi Tuhan bukan namaNya, karena saya sekali lagi yakin bahwa semua Agama Samawi meyakini bahwa Tuhan lah yang menciptakan alam semesta. Tuhan Maha Sempurna, dan Tuhan telah menciptakan alam ini dengan keseimbangan dan presisi yang sempurna. Ketika Tuhan menciptakan manusia, maka Tuhan menyerahkan pengelolaan bumi dan dan keseimbangannya yang sempurna kepada makhluk “paling” sempurna ini.
Segala ciptaannya dipastikan akan mengalami apa yang namanya siklus hidup. Setelah melewati kesempurnaan, maka semua makhluk harus bersiap menuruni kuva yang menurun. Bisa tajam, bisa bergelombang, bisa landai, yang jelas semuanya menurun kembali ke titik nol. Saya pribadi merasakan bahwa keseimbangan alam yang sempurna itu mulai berkurang. Titik keseimbangan telah bergeser.
Bagi generasi yang hidup dan melewati era 80an hingga 90an, mereka patut untuk bersyukur dan berbahagia karena masih bisa merasakan keseimbangan alam yang indah luar biasa. Tidak ada yang namanya “epidemi” kekeringan dan tidak juga ada yang namanya “epidemi” banjir bandang. Alam masih sangat bersahabat. Iklim masih berputar sesuai dengan “standart” yang berlaku padanya. Masih ingat ketika pelajaran geografi atau ilmu pengetahuan alam di SMP era 90an dulu mengenai siklus musim di Indonesia. Tertulis jelas bahwa secara teoritis, April hingga September adalah waktunya musim Kemarau atau musim panas, sedangkan Oktober hingga Maret adalah musin penghujan atau musim dingin. Lalu bagaimana kenyataannya di alam? Luar biasa. Sungguh tepat. Pada era ini, para petani benar-benar berada pada masa kejayaannya. Para petani benar-benar dimanjakan untuk dengan mudah menentukan masa tanam dan masa panennya. Sehingga tidak heran, pada era itu, tercapailah apa yang disebut swasembada beras. Petani senang, rakyat riang.
Bagi generasi yang hidup dan melewati era 80an hingga 90an, mereka patut untuk berbangga atau mungkin bersedih hati, karena merekalah yang menjadi saksi dimana saat-saat akhir alam begitu indah. Saat terakhir dimana iklim berputar begitu teratur. Akhir 90an, alam menjadi liar, alam menjadi begitu tidak bersahabat, dan alam menjadi murka. Epidemi banjir mulai melanda di musim penghujan. Epidemi tanah kering dan pecah mulai melanda ketika musim kemarau. Siklus musim menjadi kacau. Kemarau panjang sering terjadi, atau kadang hujan datang disaat belum diharapkan.
Dan tahukah apa komponen penyumbang terbesar terhadap musnahnya ketidakseimbangan ini? Pembalakan liar, penebangan hutan yang tak terkendali,, musnahnya hutan belantara, dan tumbuh pesatnya hutan beton di Indonesia. Akibat penebangan pohon yang tak terkendali ini, maka dampak jangka panjangnya adalah bumi semakin panas. Tidak ada lagi penyeimbang dan penangkal racun-racun yang dikeluarkan oleh industri yang terus berkembang. Apakah tidak ada orang yang tahu?? Semua orang tahu dan hampir semua orang yang tahu tidak perduli. Hanya sedikit yang perduli. Dan yang perduli adalah yang termarjinalkan.
Semakin orang tidak perduli, maka alam menjadi semakin liar. Iklim dan cuaca menjadi semakin tidak menentu. Alam menciptakan karakternya sendiri. Alam melahirkan fenomena untuk mempertahankan diri. El Nino salah satunya. El Nino adalah salah satu dampak akibat adanya pemanasan global. Suhu bumi terus merambat naik. Fenomena El Nino menyebabkan curah hujan di sebagian besar wilayah Indonesia berkurang. El Nino dapat menimbulkan kekeringan panjang di Indonesia, dan ini sudah terbukti berkali-kali . Panas dan kekeringan di tahun 2015 ini adalah bukti yang kesekian kalinya.
Hasil kajian di sektor irigasi menyebutkan bahwa kondisi beberapa DAS di Indonesia cukup kritis dan jumlahnya semakin banyak, khususnya di Jawa. Kondisi ini mengindikasikan bahwa daerah aliran sungai di wilayah Indonesia setelah tahun 1990- banyak yang sudah mengalami degradasi.
Disektor perikanan dan kelautan, hasil tangkapan ikan juga menurun. Hal ini dikarenakan pada kondisi tersebut, plankton sebagai makanan ikan juga berkurang. Selain itu banyak terumbu karang yang mengalami keputihan (coral bleaching) akibat terbatasnya alga yang merupakan sumber makanan dari terumbu karang karena tidak mampu beradaptasi dengan peningkatan suhu air laut. Memanasnya air laut juga akan menggangu kehidupan jenis ikan tertentu yang sensitif terhadap naiknya suhu laut. Kondisi ini menyebabkan terjadinya migrasi ikan ke perairan lain yang lebih dingin.
Lalu kemudian, apakah bukti-bukti nyata itu menyebabkan manusia sadar? Ternyata tidak, pertumbuhan manusia yang sadar sangat sedikit sekali disbanding manusia yang semakin tidak sadar. Kebakaran hutan di Riau, jambi dan sekitarnya membuktikan bahwa sebagian manusia belum tersadarkan. Timbulnya api yang memusnahkan ribuan hektar hutan ternyata bukan kebakaran tetapi dibakar. Sebagian manusia seakan sudah tidak perduli, jika bumi yang dipijak ini nanti akan diisi oleh anak dan cucunya. Hutan yang dibakarnya, pohon yang ditebangnya akan dinikmati dampaknya oleh keturunan, darah dagingnya.
Lalu apakah kita harus menyerah? Ternyata masih ada segelintir manusia pinggiran yang masih perduli. Dan marilah kita, dari diri kita sendiri juga mulai perduli. Berpikir sebelum membuang sampah sembarangan, berpikir sebelum menebang pohon di bumi yang kerontang, dan berpikir bahwa bumi ini masih akan diwariskan. Alam memang mungkin akan dan telah berubah. Namun alangkah indahnya jika kita tidak menjadi bagian dari berubahnya alam. Alam yang menjadi liar. Alam yang tidak lagi bersahabat.