Almaytasa Munfarikah¹ Muhammad Nofan Zulfahmi²
Universitas Islam Nahdlatul Ulama Jepara
Perubahan zaman saat ini memberi dampak besar di berbagai bidang kehidupan, baik dalam bidang politik, ekonomi, teknologi dan komunikasi, sosial dan budaya, serta bidang pendidikan. Perubahan ini memiliki dampak positif dan negatif. Dampak positif dari perubahan zaman diantaranya yaitu adanya teknologi yang semakin canggih, berkembangnya dunia pendidikan, adanya trend-trend fashion, makanan ataupun musik dari luar negeri, dan masih banyak lagi. Sedangkan beberapa dampak negatif akibat perubahan zaman yaitu, memudarnya moral manusia, banyak terjadi kejahatan, konten negatif dari berbagai bidang dapat diakses dengan cepat, dan masih banyak lainnya. Dampak negatif dari perubahan zaman ini tak serta merta terjadi karena pengaruh teknologi, namun juga disebabkan adanya sumber daya manusia yang rendah. Sumber daya manusia atau SDM rendah yang dimaksud yaitu, SDM yang belum bisa mengontrol dan memilah perilaku yang sesuai dengan kondisi tersebut.
Dampak negatif yang disebabkan oleh perubahan zaman tidak hanya dirasakan oleh orang dewasa saja, namun juga dirasakan oleh anak-anak usia sekolah dasar. Hal ini disebabkan karena sekarang ini kehidupan anak sekolah dasar tak jauh dari efektifitas media di lingkungannya. (Ramadhan & Sobrul, 2024). Dampak negatif yang sering dirasakan oleh anak-anak usia sekolah yaitu penurunan moral, seperti: rendahnya sopan santun, berbicara dengan bahasa kotor, dan sebagainya. Dampak lainnya yaitu kemungkinan menjadi pelaku ataupun korban bullying di sekolah, melakukan berbagai tindak kejahatan, berpenampilan tidak sesuai usianya, pemikiran lebih dewasa dari usianya, yang bisa memengaruhi kesehatan mental hingga menjadi trauma.
Dalam kamus konseling, trauma merupakan respons emosional akibat adanya pengalaman yang menyebabkan reaksi stress fisik dan psikologis yang intens. Trauma disebabkan oleh adanya suatu peristiwa yang menakutkan, menyedihkan, menegangkan, dan lainnya. (Alawiyah, 2022). Peristiwa yang bisa menyebabkan trauma salah satunya adanya kasus bullying di sekolah. Kasus ini sering terjadi di berbagai sekolah, termasuk sekolah yang masih berada di pedesaan. Sebagai guru, kita harus memutus mata rantai ini agar pembelajaran di sekolah dapat berjalan dengan lancar dan nyaman. Guru dapat memanfaatkan metode story telling dalam proses memutus rantai bullying di sekolah.
Metode story telling atau story telling berarti menceritakan ataupun bercerita, sebuah cara untuk menyampaikan materi ataupun ekspresi yang dilakukan oleh seseorang. (Mubasyira et al., 2020). Menurut Nurgiyantoro (Munajah, n.d: Hal 6), Story telling merupakan kemampuan berbicara yang bertujuan untuk mengungkapkan sesuatu yang bersifat pragmatis. Metode ini bisa dijadikan sebagai salah satu distraksi untuk mengurangi kecemasan. Hal ini sesuai dengan Undang-Undang (UU) Nomor 18 tahun 2014 tentang Kesehatan Jiwa. Berdasarkan UU tersebut, upaya kesehatan jiwa harus diselenggarakan secara terpadu, menyeluruh, dan berkesinambungan. Adanya metode story telling ini, guru dapat membantu siswa dalam mengatasi masalah dan kecemasannya. Selain itu juga, sesuai Undang-undang (UU) Nomor 4 tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak, yang berisi anak berhak mendapatkan perlindungan dari lingkungan yang dapat menghambat atau membahayakan pertumbuhan dan perkembangannya. Adanya metode story telling di sekolah akan membantu guru, orang tua, serta anak dalam mengatasi permasalahan yang di alami oleh anak.
Metode story telling ini sejalan dengan Teori Humanistik yang diungkapkan oleh Abraham Maslow. Menurut Maslow humanistik lebih melihat pada sisi perkembangan kepribadian manusia. Pendekatan teori ini yaitu dengan melihat kejadian setelah sakit tersebut sembuh, seperti bagaimana manusia membangun dirinya untuk melakukan hal-hal yang positif, dapat mengembangkan potensi yang bersifat positif, serta berhubungan baik pada setiap individu. (Syarifuddin, 2022). Adanya metode story telling di sekolah, anak dapat bercerita, konsultasi, ataupun mengeluarkan keluh kesah yang dirasakannya. Hal ini dilakukan sebagian besar anak karena mereka ingin tahu sikap yang harus diambil setelah mengalami peristiwa-peristiwa menakutkan tersebut.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H