Mohon tunggu...
Al May Yusuf Kurniavan
Al May Yusuf Kurniavan Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Universitas Udayana

suka menulis dan membuat konten di Instagram

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Cina Berulah Lagi di Laut Natuna Utara? Beginilah Respon Indonesia

21 April 2024   18:10 Diperbarui: 27 April 2024   18:09 109
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hukum. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Tidak jarang tetangga menjadi salah satu penyebab pemicu permasalahan. Pengambil alihan hak teritori atas suatu wilayah tidak bisa dilakukan dengan seenak kemauan sendiri. Perdebatan yang telah berlangsung selama bertahun-tahun mengenai daerah perairan ini mencuri perhatian banyak media nasional maupun internasional. 

Daerah yang menjadi perbincangan adalah Laut Natuna yang berada di wilayah perairan Samudra Pasifik yang terbentang dari Kepulauan Natuna hingga Kepulauan Lingga di Provinsi Kepulauan Riau, Indonesia.

Laut ini berbatasan dengan Laut Natuna Utara di utara, barat laut, dan timur. Laut Natuna juga bersebelahan dengan Selat Karimata di tenggara dan Selat Singapura di arah barat. Di Laut Natuna sendiri, terdapat beberapa gugusan pulau dan kepulauan, yaitu Kepulauan Natuna di Kabupaten Natuna. Permasalahan ini berangkat dari keinginan China untuk menjadikan wilayah tersebut menjadi bagian dari negaranya. 

Pada tanggal  2 Desember tahun 2021, telah dilaporkan bahwa China meminta Indonesia untuk menghentikan pengeboran minyak dan gas alam yang dilakukan di wilayah maritim di Laut China Selatan. Permintaan tersebut didasari oleh China yang menganggap wilayah itu seharusnya termasuk kedalam teritori miliknya. 

Namun, Indonesia memiliki pendapat yang bertolak belakang dengan pernyataan China. Hal yang dapat diasumsikan sejauh ini dari statemen kedua belah pihak adalah saling beranggapan mengenai perairan Laut Natuna Utara merupakan bagian dari wilayah mereka. Perkara ini menyeret dua negara tersebut kepada hal yang lebih rumit di masa mendatang pasca hari itu.

Peristiwa sengketa Laut China Selatan telah terjadi sejak tahun 1947. Dasar yang digunakan China untuk mengeklaim seluruh kawasan Laut China Selatan adalah sembilan garis putus-putus (nine-dash line) yang meliputi sejumlah wilayah milik Filipina, Malaysia, Vietnam, Taiwan dan Brunei Darussalam. Kemudian, keputusan China untuk benar-benar menganggap keberadaan nine-dash line itu nyata menimbulkan persengketaan antara China dengan Indonesia di Perairan Natuna kembali diperbincangkan. Persengketaan ini dipicu dengan berlayarnya kapal illegal Cina, yaitu Kapal Coast Guard Cina di perairan Laut Natuna Utara. Kapal tersebut memasuki perbatasan Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia (ZEEI) tanpa izin dan persetujuan pihak Indonesia.

Indonesia mengatakan bahwasannya ujung selatan Laut China Selatan adalah zona ekonomi eksklusif milik kedaulatan Republik Indonesia di bawah Konvensi PBB tentang Hukum Laut. Kemudian pada 2017 menamai wilayah itu Laut Natuna Utara. China keberatan dengan perubahan nama itu dan bersikeras bahwa jalur air tersebut berada dalam klaim teritorialnya yang luas di Laut China Selatan, yang ditandai dengan "sembilan garis putus-putus" berbentuk U. Hal itulah yang menggiring China tetap kukuh untuk menuntut Indonesia agar menghentikan pengeboran. Padahal sudah ditegaskan oleh Badan Hukum Laut Internasional yang dibawah naungan PBB, UNCLOS 1982 menyatakan bahwa Natuna merupakan Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia (ZEEI).

Data pergerakan kapal menunjukkan bahwa tepat beberapa hari setelah rig semi-submersible Noble Clyde Boudreaux tiba di Blok Tuna di Laut Natuna untuk mengebor dua sumur appraisal pada 30 Juni, sebuah kapal penjaga Pantai China berada di lokasi. Selama empat bulan setelahnya, kapal China dan Indonesia saling terlihat di sekitar ladang minyak dan gas, sering kali juga datang berdekatan dalam jarak 1 mil laut antara satu dengan yang lainnya.

Perbuatan China dengan pengeklaiman sepihak dapat dikategorikan sebagai pelanggaran hukum internasional. Dikarenakan berdasarkan faktanya, Laut Natuna Utara tercatat sebagai zona ekonomi eksklusif milik Kedaulatan Republik Indonesia di bawah Konvensi PBB tentang Hukum Laut. Bisa dengan jelas pula dilihat pada kenyataanya China melakukan tindakan semena-mena dengan tidak memerhatikan hukum yang telah diratifikasi. Indonesia tidak perlu takut dan sepatutnya berjuang untuk tetap memertahankan wilayah perairan Laut Natuna, karena Indonesia mempunyai pegangan hukum yang kuat yang telah diakui oleh banyak negara.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun