Mohon tunggu...
Alma Raisha Ashari
Alma Raisha Ashari Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa S1 Program Studi Antropologi Universitas Airlangga

Halo semua! Saya merupakan seorang mahasiswa S1 di Program Studi Antropologi dari Universitas Airlangga. Saya memiliki ketertarikan mendalam dalam dunia desain dan digital. Selain itu, saya juga memiliki ketertarikan yang besar terhadap bidang sosial dan kemanusiaan, khususnya dalam hal feminisme, interseksionalitas gender, dan SOGIESC (sexual orientation, gender identity, expression, and sex characteristics).

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Dinamika Representasi Genderless Fashion dalam Perspektif Antropologi

31 Mei 2024   14:22 Diperbarui: 31 Mei 2024   14:23 93
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Genderless Fashion. Sumber Ilustrasi: shutterstock

Genderless fashion adalah fenomena yang menunjukkan bagaimana perkembangan teknologi dan perubahan sosial telah mempengaruhi cara kita memandang identitas dan ekspresi diri melalui pakaian. Dalam perspektif antropologi, fenomena genderless fashion dapat dilihat sebagai manifestasi perubahan nilai-nilai sosial dan peran gender dalam suatu masyarakat. Ini menunjukkan evolusi sosial di mana pilihan pakaian tidak terikat pada stereotip gender tradisional. Dalam masyarakat, hal ini bisa tercermin dari pergeseran pandangan terhadap identitas gender dan penolakan terhadap pembatasan berbasis gender dalam pakaian.

Genderless fashion mengandung arti kebebasan dalam memilih gaya berpakaian tanpa dibatasi oleh gender biologis. Konsep ini didasarkan pada pemikiran bahwa pakaian tidak memiliki gender tertentu, membebaskan pemakai dari tekanan untuk menonjolkan sisi feminin atau maskulin. Sejak awal abad ke-20, genderless fashion muncul dan mendapat popularitas, terutama melalui pengaruh beberapa musisi Amerika. Popularitas ini menginspirasi merek-merek pakaian seperti UNIQLO dan ZARA untuk memproduksi pakaian unisex. Pakaian unisex dirancang agar bisa digunakan oleh semua jenis kelamin, dan tren ini merambah ke Asia, termasuk Jepang dan Indonesia. Hal ini pun memungkinkan desainer untuk menciptakan karya yang tidak terikat oleh norma-norma gender tradisional, yang pada akhirnya dapat membantu dalam mempromosikan inklusivitas dan kesetaraan.

Dalam antropologi, konsep gender sering dianalisis dalam konteks budaya dan sosial. Gender dianggap sebagai konstruksi sosial yang berbeda dari jenis kelamin biologis. Antropologi menekankan bahwa gender adalah cara masyarakat menciptakan dan memahami peran dan identitas yang berbeda bagi individu berdasarkan jenis kelamin. Dalam konteks ini, genderless fashion dapat dilihat sebagai ekspresi identitas yang menantang norma-norma tradisional tentang gender. Hal ini memungkinkan individu untuk mengekspresikan identitas mereka tanpa terikat oleh harapan atau ekspektasi yang terkait dengan jenis kelamin. Ini mencerminkan perubahan dalam cara kita memahami dan mengekspresikan gender.

Dalam era globalisasi dan digitalisasi ini, genderless fashion menunjukkan bagaimana teknologi dan perubahan sosial dapat mempengaruhi cara kita memandang identitas dan ekspresi diri. Ini adalah contoh nyata bagaimana perubahan dalam satu aspek kehidupan dapat mempengaruhi cara kita memahami dan mengekspresikan konsep-konsep lain seperti gender. Fashion tidak hanya sekadar cara berpakaian, tetapi juga mencerminkan identitas gender dan bentuk penerimaan diri. Fashion bersifat fleksibel dan tidak mengikat, namun, stereotip seputar fashion muncul karena pemahaman turun temurun yang ditanamkan sejak bayi oleh orang tua. Kekhawatiran para pecinta fashion untuk berkreasi timbul karena ketakutan akan penolakan dari lingkungannya.

Fashion memberikan kebebasan untuk mengekspresikan jati diri. Dalam kehidupan sosial, gaya berpakaian memiliki peran penting sebagai simbol identitas diri dan komunitas. Peran gender, yang merupakan konstruksi sosial masyarakat, turut memengaruhi pilihan gaya berpakaian. Misalnya, stereotip mengaitkan perempuan dengan rok, gaun, high heels, dan warna pink, sementara laki-laki diharapkan mengenakan celana, jas, kemeja untuk mencerminkan sisi feminin dan maskulin. Fashion merupakan bagian dari konstruksi sosial yang melampaui sekadar pakaian. Menurut penelitian yang berjudul "Looking the part: Identity, meaning and culture in clothing purchasing ---Theoretical considerations (1998)", fashion dianggap sebagai produk sosial yang memberikan rasa aman, keseragaman, dan kesempatan untuk merepresentasikan kepribadian. Sebelum abad ke-18, tidak ada perbedaan signifikan antara cara berpakaian laki-laki dan perempuan. Namun, di abad ke-19, perbedaan seks menjadi lebih penting daripada tatanan sosial, yang mengakibatkan perubahan ekspresi identitas lewat pakaian bagi laki-laki.

Pakaian inklusif gender dapat diwujudkan dalam bentuk pakaian apa pun, menurut Senior Analyst di World Global Style Network (WGSN), Nick Paget. Namun, secara umum, konstruksi sosial tentang gender telah mempengaruhi pemilihan dan penggunaan pakaian, mulai dari pemilihan warna hingga kategorisasi pakaian laki-laki dan perempuan di toko pakaian. Hal ini juga terkait dengan standar kecantikan dan pandangan terhadap pakaian yang hanya dapat mengekspresikan satu gender. Meskipun demikian, terdapat pertanyaan mengenai persepsi terhadap pakaian laki-laki dan perempuan. Misalnya, mengapa saat laki-laki mengenakan rok atau gaun, pakaian berwarna cerah, berenda, dan bermotif bunga disebut mengurangi kejantanan mereka? Sedangkan, saat perempuan memakai tuxedo, suit, dan pakaian serba hitam, mereka akan dianggap normal atau bahkan dipuji keren oleh banyak orang. Hal ini menunjukkan bahwa konstruksi sosial tentang pakaian dan gender masih mempengaruhi pandangan masyarakat terhadap ekspresi diri melalui pakaian.

Pria dengan Pakaian Berwarna Pink. Sumber Ilustrasi: shutterstock
Pria dengan Pakaian Berwarna Pink. Sumber Ilustrasi: shutterstock
Padahal, jika kita berkaca pada pakaian adat Indonesia, ada beberapa daerah yang tidak menggunakan celana sebagai bawahan laki-laki, seperti payas agung dari Bali dan jarik dari Jawa Timur dan Jawa Barat. Namun, penggunaannya hanya terbatas pada acara tertentu, sehingga rok atau gaun pada laki-laki tidak dinormalisasi dan dianggap feminin. Konsep genderless fashion pada pakaian adat seperti pakaian pria di Yunani, Romawi, atau pakaian tradisional Skotlandia dapat dilihat dari desain pakaian yang tidak membedakan jenis kelamin dan dapat dikenakan oleh berbagai jenis kelamin tanpa membatasi ekspresi gender. Pakaian adat yang menerapkan konsep genderless fashion juga dapat menggabungkan elemen unisex dalam desainnya. Di belahan Timur jauh dan Timur dekat, kaum wanitanya justru memakai celana panjang atau trousers, sedangkan di Mesir baik wanita maupun pria sama-sama menggunakan busana sejenis rok, hanya perbedaannya terletak pada panjangnya.

Pakaian Tradisional Skotlandia. Sumber Ilustrasi: shutterstock
Pakaian Tradisional Skotlandia. Sumber Ilustrasi: shutterstock
Dalam beberapa dekade terakhir, makna hanbok, pakaian tradisional Korea, mengalami pergeseran. Desainer hanbok kini menciptakan varian yang lebih sederhana dan tanpa batasan gender yang kaku. Hanbok genderless menjadi simbol inklusivitas di Korea, mengakui berbagai identitas gender. Di India, sari tradisionalnya dianggap sebagai pakaian perempuan, tetapi munculnya desain sari untuk pria mencerminkan perubahan dalam persepsi identitas gender dan dorongan untuk mengatasi norma-norma tradisional. Konsep genderless fashion pada pakaian adat memberikan ruang yang lebih inklusif dan kesetaraan dalam berpakaian, sehingga individu dapat mengekspresikan diri mereka melalui busana tanpa terikat oleh ketentuan yang ada dalam kehidupan masyarakat.

Referensi:

Pambudi, Hakim, N. S., Achmad, H., Adhitama, Prasetyo, G. (2019). Studi Preferensi Masyarakat Jakarta Terhadap Genderless Fashion. Jurnal Rupa, 4(1), 54-63. https://doi.org/10.25124/rupa.v4i1.2249.

Belinda, C. B. (2022). Persepsi dan Reaksi Generasi Z Terhadap Fenomena Gender Fluid dan Gaya Fesyen Androgini. Linimasa: Jurnal Ilmu Komunikasi, 5(2), 165-170. https://doi.org/10.20473/medkom.v3i2.44044

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun