Masalah pembajakan buku di Indonesia memang tidak ada habisnya. Mulai dari buku yang bersifat akademis sampai buku-buku sastra seperti novel tak luput dari pembajakan. Istilah lainnya disebut 'KW' kepanjangan dari 'Kwalitas' yang tak lain adalah barang tiruan atau imitasi. Buku KW ini tentunya memiliki kualitas yang jauh berbeda dari buku asli.
Mengenali buku-buku bajakan atau KW itu cukup mudah. Hal yang paling kentara bisa dilihat dari lemnya. Buku bajakan rata-rata menggunakan lem yang sedikit serta mudah sekali rusak jilidannya. Kualitas cetakannya kadang buruk (buram atau terlalu tebal) dan lebih mirip seperti hasil fotokopian. Sampulnya pun mudah dikenali. Buku asli memiliki sampul yang halus dan kadang disertai dengan tinta emboss atau timbul. Sedangkan sampul pada buku bajakan terlihat kusam dan mudah mengelupas.
Pembajakan hak cipta seperti musik, film, maupun buku seolah sudah menjadi hal yang biasa di negara kita. Di beberapa kios pinggir jalan sering sekali kita jumpai penjual buku bajakan yang melakukan usaha secara terang-terangan. Meskipun telah disidak oleh aparat, mereka bisa bangkit lagi dengan mudah. Bahkan di era industri digital, para penjual buku bajakan kini sudah merambah ke sektor daring yaitu marketplace online.
Masalah pembajakan ini tidak hanya berada di pihak penjual atau pembuat buku bajakan, melainkan juga dari tingkat antusiasme yang tinggi dari masyarakat. Tak bisa dipungkiri bahwa masyarakat pun memiliki minat yang tinggi terhadap buku bajakan. Tak hanya pelajar dengan budget terbatas, tetapi juga orang-orang dewasa. Kalangan mahasiswa sering sekali mengonsumsi buku bajakan. Yang lebih parah lagi, dosen terkadang membiarkan atau justru merekomendasikan mahasiswanya untuk membeli buku bajakan dengan alasan harganya murah.
Pada tahun 2019, IKAPI menerima laporan kerugian dari 11 penerbit senilai 116,050 miliar rupiah akibat pelanggaran hak cipta. Selain itu 54,2 persen penerbit menemukan pembajakan buku mereka di marketplace (lokapasar) daring. Saya sendiri pun sering menemukan buku-buku laris yang dijual dengan harga miring, berkisar antara 30 ribu hingga 60 ribu rupiah saja baik di toko konvensional maupun online. Padahal harga aslinya bisa mencapai ratusan ribu. Hal ini tentunya sangat merugikan penerbit dan penulis, karena mereka tidak mendapatkan royalti dari hasil penjualan buku. Melainkan semua keuntungannya justru masuk ke kantong pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab.
Perlindungan Hak Cipta sudah diatur dalam Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta. Namun keberadaan aturan ini tidak mampu membendung besarnya kasus pembajakan karya di Indonesia khususnya buku. Pemerintah dan aparat seharusnya bertindak lebih tegas dalam pelaksanaan pemberantasan buku bajakan. Hal lain yang juga penting adalah menanamkan kesadaran kepada masyarakat untuk lebih menghargai hasil karya. Yaitu dengan membeli buku asli dan menghindari buku bajakan atau KW.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H