Mohon tunggu...
Malika D. Ana
Malika D. Ana Mohon Tunggu... profesional -

Penggiat Kelompok Diskusi ISACS: Institute Study Agama dan Civil Society & Indoprog (Indonesia Progress)

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Saat Garuda Di Dada Anak Muda

31 Desember 2010   05:10 Diperbarui: 26 Juni 2015   10:10 251
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
12937717281572391965

Hari itu, 29 Desember di kantor ada acara nobar dengan fasilitas slide seadanya. Orang-orang malas pulang karena waktunya tak akan nuntut untuk menonton peristiwa paling ditunggu: final AFF yang menghadirkan Timnas Indonesia melawan Malaysia. Satu hal yang mengherankan bahwa orang yang tak biasa nonton maupun menyukai bola pun jadi bergairah menonton. Mungkin karena rasa nasionalisme yang membara. Babak pertama gol sering kali lewat begitu saja, teman-teman sampai dibuat gemes dan geram. Lalu disusul babak kedua Markus Horizon kebobolan gawangnya. Teman perempuan saya yang duduk di sebelah saya langsung berdiri dan teriak: "guoblog Kus Markus, bisanya megang susu thok, megang bola gak enthos!" lalu bertubi-tubi orang-orang  "misuh".....Pokoknya berbagai ekspresi kegemasan, gregetan, sampai yang "misuh-misuh" ala Suroboyoan-lah. Sampai mendengarnyapun rasanya mau ketawa aja. Ada-ada saja! Hingga berakhir pertandingan dengan gol 2-1 Indonesia. Wow, sungguh mengagumkan! Bisa dibayangkan kalau Timnas saat itu kalah total, mungkin bisa saja terjadi kerusuhan luar biasa. Kemarahan penonton atau supporter yang gila, semuanya bisa saja terjadi. Baru setingkat Surabaya aja Bonex (supporter bolanya Suroboyo) sering bikin aparat kewalahan. Lha ini seantero Indonesia....whew! Tragedi kerap terjadi, kita bisa mencari alasan dengan menyalahkan orang lain. Tapi sudahlah itu tidak penting, tragedi sudah terjadi. Seterusnya kita enyahkan rasa pedih itu. Kita membangun kembali! Untaian kalimat ini dituturkan oleh novelis Brazil Paulo Coelho (1996) dalam karyanya The Fifth Mountain ketika dia menceritakan ulang kisah Nabi Elia dalam epos biblikal saat ia membangkitkan semangat warga kota Akbar untuk membangun kembali negerinya dari puing-puing kehancuran akibat peperangan yang kejam. Kutipan dari Paulo Coelho ini sepertinya tepat melukiskan suasana mental yang harus terus dipegang oleh Timnas Indonesia yang menyandang Burung Garuda didadanya yaitu Bambang Pamungkas, Irfan Bachdim, Christian Gonzales, Ahmad Bustomi, Firman Utina, Markus Horison dan kawan-kawan. Melalui jerih payah kerja keras, hentakan kaki dan ayunan langkah mereka kebanggan dalam ke-kita-an sebagai bangsa tidak saja tumbuh namun mereka mengajarkan kita, seluruh entitas republik, termasuk para pemimpin bagaimana seharusnya sikap yang terhormat membela Sang Dwi Warna semestinya dilakukan. Saat jagat politik Indonesia menghadapi tragedi krisis kepemimpinan republik yang tak berkesudahan, saat perilaku politik narsistik berkali-kali disodorkan kehadapan publik dan kepemimpinan republik kerapkali tersandera oleh kepentingan kelompok politik maupun uang, jajaran Timnas memberikan teladan (virtue) bagi kita semua bahwa atas nama kebanggaan berjuang bagi republik tidak boleh ada kata menyerah dalam menghadapi siapapun untuk kepentingan bangsa dan negara. Simaklah orasi Bambang Pamungkas di kamar ganti pemain sesaat setelah kalah oleh Tim Malaysia lalu. Rekan-rekan kekalahan ini harus berhenti di ruangan ini. Kita tidak memerlukan pembahasan yang lebih panjang mengenai apa yg terjadi malam ini, tidak ada saling menyalahkan tentang apa yang terjadi di lapangan tadi. Kita menang bersama-sama dan sudah seharusnya kita juga kalah bersama-sama. Mental pemenang dan tak mudah menyerah tertoreh jelas terlontar melalui kalimatnya. Dan sepertinya semangat berbangsa, semangat mengemban tanggung jawab dalam hidup berepublik inilah yang pelan-pelan luntur dan harus kita siram kembali menyuburkan bumi Indonesia yang tengah gersang oleh semangat teladan kepemimpinan politik. Dalam drama persepakbolaan yang baru saja usai, bagi saya bukan soal juara atau tidak juara yang paling penting untuk disimak, namun tak disangka-sangka kita menemukan mental sportif dan kepemimpinan justru bukan dari para elite politik tapi pada kaum muda, Timnas sepakbola kita. Semangat kerja keras untuk Indonesia ini mengingatkan saya kepada naskah Bung Hatta pada tahun 1928 berjudul Tentang Nama Indonesia saat dia menguraikan bahwa bagi kami Indonesia adalah sebuah istilah politik, tanah air di masa depan tempat tiap-tiap orang yang merasa menjadi bagian didalamnya bekerja keras dengan segenap kemampuan dan fikirannya untuk mewujudkan bersama. Ketika kemarau semangat berbangsa tengah meluas, dan tanah ibu pertiwi telah kering merangas oleh semangat kekitaan sebagai bagian dari republik, semangat Timnas dan berbagai elemen muda tengah tumbuh dalam merawat kembali kebaikan bersama dalam solidaritas kehidupn berrepublik. Dalam bayangan kolektif kaum muda, kita dapat menghimpun dan menyimak semangat mereka akan Indonesia kedepan adalah Indonesia yang optimis dalam memandang masa depannya, optimisme yang sudah semestinya didukung oleh komitmen negara menjaga kedaulatan , antusiasme yang lahir dari semangat tiap-tiap warga akan kebutuhan untuk mencapai sesuatu, berprestasi dan berkompetisi. Optimisme seperti ini adalah optimisme yang lahir dari kesadaran akan pentingnya sebuah orientasi perubahan. Orientasi akan masa depan segenap tiap-iap orang untuk maju dan antusiasme warga untuk berprestasi yang mensyaratkan kepercayaan atas komitmen negara bekerja untuk melayani warganya. Penyegaran Bernegara Kegigihan semangat Timnas adalah momentum, awal dari pentingnya penyegaran dalam kehidupan berbangsa dan berepublik. Di gelanggang sepakbola telah terbukti bagi kita semua saat kaum muda diberi tanggung jawab mengemban nama bangsa, ternyata mereka menjalankannya dengan penuh hasrat dan komitmen. Saat mereka sadar bahwa menjadi juara hampir tertutup kemungkinannya mereka terus gigih bertarung karena mereka sadar kehormatan bangsalah yang mereka emban. Pada wilayah yang lebih luas seperti pada dunia politik, inilah saatnya kita berefleksi bahwa kepemimpinan politik kaum muda adalah sesuatu yang mendesak untuk kita gulirkan, besera inovasi dan penyegarannya. Belajar pada Amerika Serikat abad ke-19, saat pertumbuhan ekonomi belum berjalan merata dan pembangunan serta mobilitas sosial belum menyebar di wilayah Amerika bagian Barat, Horace Greely dalam editorialnya New York Tribune tahun 1865 berseru dengan lantang “Go West, Young Man!”. Seruan itu membawa penyegaran dan semangat dari warga Amerika Serikat untuk bermigrasi dan mencari nafkah sekaligus menyetarakan akselerasi pembangunan antar wilayah dengan menaklukkan sisi Barat Amerika yang liar dan belum terjamah. Cerita inovasi untuk merambah wilayah Barat dari Amerika Serikat ini dapat kita ambil contoh untuk menjawab bagaimana inovasi dan penyegaran menjadi penting untuk mengelola wilayah Indonesia dibawah kepemimpinan kaum muda. Selama 64 tahun Indonesia prioritas pembangunan ekonomi masih terpusat di sebagian wilayah Barat Indonesia khususnya wilayah Jawa, terutama Jakarta sebagai pusat aktivitas ekonomi sekaligus politik. Meskipun desentralisasi telah berjalan, namun Indonesia Timur masih tetap dipandang sebagai wilayah tertinggal. Bukankah salah seorang personil Timnas andalan kita Oktovianus Maniani berasal dari tanah Papua, wilayah Indonesia Timur yang mempersembahkan warganya sebagai olahragawan, cendekiawan anak SMA pemenang olimpiade Fisika bagi keharuman bangsa Indonesia.  Langkah penyegaran dan inovasi menjadi penting diambil oleh kepemimpinan kaum muda. Seruan “Go East, Youngster!” menjadi hal menarik yang dapat melahirkan antusiasme setiap warganegara. Dapat kita bayangkan, ketika kepemimpinan kaum muda berani mengambil langkah fundamental dengan menggeser orientasi pusat pembangunan ke Timur Indonesia bahkan pusat ibukota ke Indonesia Timur, maka berbagai tantangan kedepan akan terjawab. Mulai dari persoalan ketidakadilan yang memunculkan aspirasi untuk memisahkan diri, redistribusi pendapatan yang lebih baik, percepatan pembangunan wilayah, perubahan orientasi Indonesia dari agraris dan inward looking menuju maritim dan outward looking sampai strategi geopolitik untuk mendekatkan diri pada wilayah pasifik, Jepang dan Amerika Serikat sebagai masa depan strategi pembangunan luar negeri. Disinilah pentingnya inovasi kebijakan dari para pemimpin muda kedepan agar arah pembangunan dan pengelolaan negara tidak kering dan terjebak oleh rutinitas keseharian. Agar kaum muda mampu menyegarkan keindonesiaannya. Setelah optimisme dan inovasi menjadi ruh dari masa depan Indonesia kedepan, ada baiknya bagi para kaum muda calon pemimpin republik menyimak renungan Jean Jacques Rousseau bahwa saat nilai kebajikan hadir dalam benak kita, ia akan selalu berkonflik dengan nafsu keserakahan dan kepentingan personal. Tanggung jawab para pemimpin muda adalah memegang teguh nilai kebajikan publik sesuai amanah proklamasi, agar tidak larut dalam kultur dekaden politik seperti para pendahulunya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun