Di suatu siang yang cerah, seorang gadis kecil melangkah dengan lesu sepulang dari sekolah. Gadis kecil itu bernama Mia. Mia dengan lesu terus berjalan sembari sesekali menendang kerikil yang ada. Mulut kecilnya terkadang menggumamkan sesuatu seperti gerutuan pelan, bibirnya pun sedikit melengkung sedih. Hari ini di sekolah, teman-teman Mia bergantian menceritakan tentang keseruan mereka saat berlibur bersama keluarga saat liburan sekolah beberapa waktu lalu. Sayang sekali Mia tidak bisa ikut bercerita, karena ayah dan ibu Mia sibuk bekerja. Di rumah, Mia lebih sering diasuh oleh pengasuhnya yang biasa ia panggil 'Mbak Mira'.
"Kapan, ya, aku bisa liburan bersama Ayah dan Ibu seperti teman-teman?" ujar Mia pelan.
Saat hendak membuka pintu rumah, dari arah belakang Mia mendengar suara mengeong lirih yang terdengar menyedihkan. Mia sontak berbalik untuk mencari sang pemilik suara. Setelah didekati, ternyata suara tersebut berasal dari kardus bekas berisi anak kucing berbulu putih yang diletakkan begitu saja di depan rumah kosong yang posisinya berhadapan dengan rumah Mia. Mia merasa kasihan melihat anak kucing yang terlihat kelaparan dengan bulu yang mulai kotor itu.
"Meong... Meong..."
"Ya ampun! Siapa yang naruh kamu di sini, Cing? Kamu pasti kedinginan, ya?" kata Mia sambil mengangkat si anak kucing. Perlahan Mia mulai mengelus anak kucing terlantar itu untuk memberikan kenyamanan. Terbukti, anak kucing itu mendengkur kecil dan semakin mendekatkan diri pada Mia, seperti mencari perlindungan.
"Kamu ikut ke rumahku dulu, ya! Aku mau bersihkan bulu kamu dan kasih kamu makanan," kata Mia yang dibalas anak kucing tersebut dengan suara mengeong yang lantang-seolah merasa senang karena ada yang datang menolongnya.
Mia pun masuk ke rumah bersama anak kucing itu. Mbak Mira yang melihat Mia membawa sesuatu penuh bulu pun bertanya, "Adek dapat kucing dari mana? Jangan ambil binatang sembarangan, nanti Adek sakit, lho."
"Nggak, Mbak, Adek nggak akan sakit. Justru anak kucing ini yang bakal sakit kalau Adek biarin dia di luar. Kasihan banget dia sendirian di dalam kardus, nggak ada orang tuanya."
"Seperti aku..." lanjut Mia dalam hati.
"Ya sudah kalau gitu Adek bersih-bersih dulu, habis itu makan, ya? Makanannya sudah Mbak siapin di dapur."
"Iya, terima kasih, Mbak. Kalau begitu Adek ke kamar dulu sekalian mandiin kucing ini."
Mia segera masuk ke kamarnya yang bernuansa serba merah muda dengan beberapa foto dirinya yang terpasang rapi di dinding. Setelah selesai membersihkan diri dan memandikan anak kucing--yang kini menjadi teman barunya--Mia beranjak ke dapur untuk makan siang serta memberi anak kucing itu makanan. Selesai makan, Mia kembali membawa anak kucing itu ke kamar.
"Oh iya, kita belum kenalan! Namaku Mia, umurku 7 tahun. Kalau kamu?" tanya Mia sambil berbaring pada anak kucing di depannya yang hanya dibalas kedipan kecil.
"Hehehe.. buat apa aku tanya kamu, ya? Kucing kan nggak bisa bicara."
Mia terdiam sejenak. Telunjuknya diketuk-ketuk ke dagu, memikirkan nama untuk anak kucing barunya. Tak lama kemudian, Mia tersenyum.
"Aku tahu! Mulai sekarang nama kamu itu Putih, karena bulu kamu putih bersih," ujar Mia dengan semangat sambil sesekali bertepuk tangan. Rupanya, bukan hanya Mia yang senang, anak kucing yang kini dipanggil 'Putih' itu pun ikut senang. Putih mendekat ke arah Mia yang kini sedang duduk di tepi kasur. Putih berhenti tepat di depan Mia yang masih tersenyum. Namun, tiba-tiba cahaya putih keluar yang sangat terang dari tubuh Putih hingga membuat Mia memejamkan mata karena tidak kuat menahan silaunya.
Beberapa detik berlalu, Mia tidak merasakan sesuatu hingga akhirnya memberanikan diri untuk membuka mata. Alangkah terkejutnya Mia ketika mendapati seorang gadis kecil seusia dengannya berdiri sambil tersenyum di hadapannya. Gadis itu mengenakan gaun putih dengan mahkota kecil di kepalanya, terlihat anggun dan menggemaskan.
"K-kamu.. siapa? Kenapa bisa ada di kamarku? Lalu.. d-dimana Putih?" tanya Mia gugup.
"Halo, Mia! Senang bertemu denganmu. Aku Ilona, anak kucing yang kamu sebut sebagai Putih," jawab sosok yang mengaku sebagai Putih.
Mia masih terdiam dengan mulut sedikit terbuka. Ia sangat terkejut, tidak menyangka anak kucing kecil yang ditemukannya sepulang sekolah kini berubah menjadi manusia seperti dirinya.
"Apa tujuan kamu ke sini? Kenapa bisa Putih berubah jadi manusia?" tanya Mia.
"Aku ini sebenarnya seorang putri kerajaan yang sedang dihukum. Ayahanda meminta penyihir kerajaan merubahku menjadi kucing karena kenakalanku sendiri. Penyihir kerajaan lalu mengirimku ke tempat ini dan berkata bahwa suatu hari akan ada anak baik yang datang menolongku, dan ternyata benar, kamu datang menolongku, Mia."
"Kenapa bisa begitu? Aku nggak merasa melakukan apapun dari tadi," heran Mia.
"Ketulusanmu untuk merawatku yang bisa mematahkan sihir itu, Mia," jawab Ilona yang dibalas anggukan oleh Mia.
"Lalu apa tujuanmu.. Putri Ilona?" tanya Mia.
"Hahaha.. tidak perlu kaku begitu. Panggil saja aku Ilona, atau.. panggil Putih juga tidak apa."
"Hehe.. o-oke. Jadi setelah kembali jadi manusia apa yang akan kamu lakukan, Ilona?" tanya Mia.
"Aku akan mengabulkan satu permintaanmu, jadi sekarang katakan saja apa yang kamu inginkan, Mia."
Mia terdiam sejenak, sepertinya ini adalah waktu yang tepat untuk menjadikan keinginannya menjadi kenyataan. Tapi, Mia ragu, apakah Ilona bisa mengabulkan keinginannya yang satu ini.
"Aku.. mau Ayah dan Ibu. Aku mau liburan keluarga sama mereka. Apa kamu bisa kabulkan hal itu?"
Ilona tersenyum sambil menjetikan jari, "Tentu saja bisa! Urusan seperti itu adalah hal yang mudah untuk Ilona."
Seraya menggigit pelan bibirnya, Mia bertanya sekali lagi untuk memastikan. "Kamu serius?" Ilona pun mengangguk sebagai jawaban.
"Sekarang kamu berbaring di kasur dan pejamkan matamu selama beberapa saat, setelah itu keinginanmu akan terkabul," kata Ilona.
"Oke, laksanakan!"
Mia pun segera berbaring dan memejamkan matanya seakan tertidur. Tak lama kemudian kilauan cahaya keluar dari tangan Ilona. Permata yang ada di mahkota Ilona pun ikut bersinar. Setelah mengucapkan mantra, Ilona mengarahkan kilauan cahaya itu ke arah dahi Mia.
"Terima kasih sudah menolongku, Mia. Sekarang nikmati hadiahmu. Aku pergi dulu, semoga kita bisa bertemu lagi suatu hari nanti." Cahaya pun meredup diikuti oleh menghilangnya Ilona. Menyisakan Mia yang kini tertidur dengan nyenyak.
Beberapa saat kemudian, Mia pun terbangun. Sambil mengucek pelan matanya, Mia memperhatikan sekitar. Mia merasa ada yang aneh, seingatnya ia tadi ada di kamar bersama Ilona. Tapi, sekarang Mia malah berada di dalam kamar yang mirip dengan kamar hotel.
Pintu kamar terbuka, muncul dua sosok yang sangat Mia kenal kini duduk mengapitnya yang berada di tengah kasur. Dua sosok itu adalah orang tua Mia.
"Sudah bangun, Sayang? Masih pusing?" tanya Ibu Mia.
"Adek mau makan apa? Kita makan di luar kalau adek sudah nggak pusing, tapi kalau masih pusing nanti pesan lewat telepon aja makanannya, ya?" sambung Ayah Mia.
"Kenapa Ayah sama Ibu ada di sini? Ilona mana? Tadi kan Adek lagi di kamar sama Ilona." tanya Mia bingung.
Orang tua Mia saling pandang, tidak mengerti apa yang dikatakan anaknya."Ilona siapa? Dari tadi kamu memang tidur di sini karena kelelahan setelah penerbangan jauh. Kita kan lagi liburan ke Amerika, Adek lupa, ya?" kata Ayah Mia sambil mengusap rambut Mia dengan sayang.
Mia terkejut, tidak menyangka jika keinginannya untuk liburan keluarga benar-benar terkabul. Namun, di satu sisi, Mia sedih karena mungkin saja ia tidak akan bisa bertemu Ilona lagi. Mia juga belum sempat mengucapkan terima kasih dan berpamitan secara langsung pada Ilona.
"Terima kasih banyak, Ilona. Aku harap kita bisa bertemu lagi." kata Mia dalam hati sambil tersenyum.
Pekerjaan memanglah penting, namun menjaga keharmonisan keluarga dan melihat tumbuh kembang anak menjadi kebahagiaan tersendiri bagi orang tua. Luangkanlah sedikit waktu untuk berkumpul bersama keluarga dan berikan perhatian pada anak.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H