Kebahagiaan adalah sebuah kesenangan dan ketentraman hidup yang kita alami. Setiap orang dapat mencapai tingkat bahagia itu dengan cara dan jalannya masing-masing. Tidak bisa disamakan. Karena persepsi orang tentang kebahagiaan itu sendiri beragam bentuknya.
Jika dilontarkan sebuah kalimat tanya kepadaku, "Bahagia itu apa sih?"
Bagiku, bahagia adalah sebuah jalan hidup untuk kita bisa mengecap, menikmati dan merasakan manisya sebuah kehidupan. Terlalu banyak orang kaya di dunia ini, namun yang bisa menikmati hasil jerih payahnya hanya sebagian kecil. Bisakah kita menjamin kebahagiaan itu karena kita punya banyak harta?. Untuk apa kita kaya kalau kita tidak bahagia?.
Kebahagiaan itu tidak melulu soal harta, tak hanya soal asmara, tak selamaya soal cinta dan wanita. Tapi, kebahagiaan sejati adalah soal ketentraman jiwa. Tempalah jiwa kita menjadi tentram, maka apapun lika-liku kehidupan, kita akan sanggup mlewatinya. Kaya tidaknya kita tidak akan jadi masalah, hati dan jiwa kita akan selalu merasakan kebahagiaan, apapun keadaannya.
Baiklah, dalam tulisan kali ini aku akan membagikan versi bahagiaku sendiri.
Ini kisah adikku yang tak seperti kebanyakan anak yag lain. Dia memiliki keterbatasan fisik, sehingga menyebabkannya tidak mampu berjalan hingga saat ini. Namanya Kamalia Maemun. Berusia 8 tahun, dan sekarang masih duduk di bangku kelas 1 SD. Aku sendiri kagum dengan adikku yang meskipun memiliki keterbatasan, tapi tidak menyurutkan semangatnya untuk terus belajar. Meski dalam keadaan tidak bisa berjalan, dia tetap bersekolah dan tekun dalam menuntut ilmu.
Terkadang, aku bersedih ketika melihat adikku hanya berdiam diri di rumah, sendirinya. Inginku menangis karenanya. Dalam batinku aku berucap "Pasti dia ingin keluar bermain bersama teman-temannya. Pasti ada rasa iri dalam hatinya melihat teman-temannya bisa berjalan, bermain bersama diluar, hujan-hujanan, bermain lari-larian." Namun dengan keadaannya yang demikian, dia tak bisa menikmati masa kecilnya untuk bisa bermain diluar bersama teman-temannya. Hanya bisa bermain didalam rumah saja.
Melihat dia tersenyum adalah kebahagiaan tersendiri dalam diriku. Beruntung, kini sudah tiba masa liburan. Aku bisa berbagi kebahagiaan lebih banyak dengannya, bisa memberi perhatianku yang lebih untuknya. Memang, yang kubagi dan kuberi tidaklah seberapa. Hanya kebersamaan untuk bermain dengannya, membantunya mengerjakan tugas sekolah, membelikannya makanan, dan mengurus kebutuhannya yang lain. Sekiranya itu mampu menerbitkan senyum di pipinya.
Ingatlah, kebahagiaan itu mahal. Tak semua orang bisa merasakannya. Tak semua orang mampu menghirupnya. Ia tak dapat diukur dengan uang dan harta benda. Itulah yang aku kejar selama ini. Meski ku tak dapat menyantuni keluargaku dengan memberikan materi, setidaknya mereka bisa tetap tersenyum gembira dengan keberadaanku di rumah, terutama oleh adikku.
Aku teringat pesan seorang ustadz kepadaku ketika di pondok, "Jangan sampai, ada dan tiadanya kita itu sama saja." Sangat pendek kalimatnya, namun begitu mendalam maknanya.
Jangan sampai keluarga kita menganggap keberadaan kita di rumah itu tidak memberikan manfaat apapun, sehingga seakan-akan kita tidak ada disana, tidak bisa menyebarkan secuilpun kebahagiaan dengan mereka.