Aku malu bergumam soal cinta, cinta kasih seorang ibu, karena kutahu cintanya jauh lebih besar dari cintaku. Aku malu, sudah hampir 18 tahun menjalani kehidupan ini, namun belum bisa membanggakannya. Belum bisa membuat dia bahagia. Ibu, kau sosok yang sederhana, tapi begitu tegar menghadapi anakmu yang tak tau terima kasih ini. Maafkan aku ibu! Sengaja ku menulis cerita ini, sebagai pengingat bagi diriku atas jasamu yang begitu berharga, begitu memesona.
Aku pernah berkecil hati. Sebab aku terlahir dari keluarga yang kurang mampu. Aku terlalu berpikir tinggi, hanya melihat ke atas, namun tidak pernah melihat ke bawah. Kini, aku sadar akan hal itu. Ingin ku merubah semuanya, membuang jauh pikiran semacam itu.
Ibuku bukanlah orang yang berpendidikan tinggi, bukan pula orang yang mempunyai kekayaan berlimpah. Namun, padanyalah aku belajar makna hidup, dengannyalah aku belajar nilai-nilai kehidupan. Dialah madrasah pertama bagiku. Sekolah hakiki yang Allah sengaja turunkan, karena sejatinya dialah sumber segala ilmu, apapun itu. Dia mendidik dengan penuh keikhlasan tanpa memikirkan balasan apa yang akan didapatkan.
Ibu, Sekolah Pertamaku.
Jika ditanyakan kepadaku, mengapa disebut demikian? Bagiku, dialah gudang segala ilmu, pendidik sejati yang tulus ikhlas mengajarku bertahun-tahun lamanya. Sebab, pendidikan bukan hanya terbatas di kelas saja, melainkan segala apa yang kita lihat, apa yang kita dengar, dan apa yang kita rasakan.
Ibu, Suri Tauladanku.
Di samping Rasulullah SAW, sosok ibu juga menjadi suri tauladan bagi buah hatinya. Begitu juga dengan ibuku, dialah suri tauladan pertama bagiku. Bagaimana tidak? Dia mendampingiku selama 24 jam, menuntunku berjalan saat masih kecil, melatihku berbicara, mengajarkanku cara makan dan minum, mendidikku soal etika dan sopan santun, dan masih banyak lagi yang lainnya. Aku merasa, seolah-olah ibuku adalah figur dari akhlak mulianya Rasulullah SAW.
Dari Ibu, Aku Belajar Membaca dan Menulis.
Aku memang tak sepenuhnya ingat tentang bagaimana ibuku mengajarkanku membaca dan menulis. Tapi, aku ingat betul bagaimana adikku yang masih kecil mampu membaca dan menulis berkat didikan dari ibu. Kuperhatikan dengan saksama, ku lihat ibuku membacakan perlahan huruf demi huruf, mengulanginya lagi sampai adikku mengikutinya. Demikian juga halnya dengan menulis.
Melihat hal itu, aku jadi berpikir, begitulah aku diajarkan dulu.
Dari Ibu, Jiwa Spiritualku Tertanam.